Joki tugas saat ini marak terjadi. Terutama tugas-tugas perkuliahan. Saya sedikit ada cerita soal ini. Dulu, saat saya masih kuliah S2, saya beberapa kali dapat tawaran untuk mengerjakan tugas skripsi milik teman. Setelah lulus, saya juga sempat diminta seorang teman untuk membantu menyelesaikan tesisnya. Tahu apa yang saya lakukan? Saya menolak. Alias saya tidak mau membantu mereka, meski saya mau dibayar sekalipun. Bukan berarti saya tidak butuh uang, ya, namun saya tetap yakin ada rezeki dari jalur yang lain.
Saya tidak mau banyak berasumsi tentang alasan kenapa banyak mahasiswa memilih jalur joki untuk merampungkan studinya. Yang jelas, setidaknya, ada dua alasan kenapa saya menolak untuk menjoki bagi tugas akhir teman-teman saya.
Pertama, waktu dan tanggungjawab. Waktu sehari-hari sudah saya habiskan untuk bekerja dari pagi sampai sore. Malamnya, kadang saya memilih untuk istirahat, kadang rapat organisasi, dan kadang mengerjakan hal lain, seperti menulis artikel atau membaca. Ketika saya menerima tawaran joki, saya tak yakin dengan diri sendiri, saya takut mengecewakan teman saya, seandainya skripsi atau tesis tersebut malahan tidak tersentuh, saya justru yang menambah beban teman saya. Ini alasan utama yang sering saya lontarkan ke teman yang meminta saya menjoki.
Kedua, saya tak mau bikinmahasiswa punya sikap ketergantungan terhadap orang lain. Tentu saja alasan ini tidak saya sampaikan ke teman. Sejak S1 hingga S2, saya selalu berusaha untuk mengerjakan skripsi atau tesis secara mandiri alias tanpa bantuan joki. Dari mulai pengambilan data, pengetikan, pengolahan data, dan sebagainya. Bagi saya, tugas mahasiswa adalah belajar dan berproses, mencari ilmu dan pengalaman. Itu yang jauh lebih penting daripada sekadar nilai di atas kertas.
Menggunakan jasa joki sama saja dengan melewatkan proses. Padahal, dengan proses tersebut, menurut saya, akan membentuk mental seseorang menjadi tangguh. Kerja keras melatih seseorang untuk menghadapi tantangan, mengatasi rintangan, dan bangkit dari kegagalan.
Andai saya dulu memilih menggunakan jasa joki, bisa dipastikan saya akan melewatkan banyak proses yang berliku-liku. Mungkin saya tak akan tahu bagaimana susahnya memparafrase untuk menurunkan plagiarisme menjadi 20%; saya juga tak akan merasakan malam-malam sampai jam 12 madep laptop keringat dingin karena dikejar deadline; saya juga tak merasakan berpusing-pusing ria karena harus mengolah dan menganalisis data hasil wawancara; dan segala proses yang lain, yang memerlukan effort dan energi yang luar biasa.
Proses-proses tersebut perlu dilalui, karena bagi saya, kuliah tidak sekadar hanya tuk mendapat selembar ijazah, namun juga soal pengalaman, dedikasi, dan perjuangan. Perjuangan merengkuh studi dengan berdarah-darah tentu akan lebih terkesan dan terkenang di masa mendatang daripada kita hanya mengandalkan joki untuk membantu tugas-tugas kita.
Di era menuju Indonesia Emas 2045, jasa joki tugas kini makin marak terjadi. Sebagai dosen, tentu saya khawatir. Mengapa? Karena mahasiswa akan meremehkan tugas yang diberikan oleh dosennya. Mahasiswa akan banyak bergantung dengan jasa orang lain, mereka hanya perlu mengeluarkan uang untuk membayar jasa. Selagi dompet mereka tebal, segala urusan bisa beres dalam sekejap. Tugas rampung dan dikumpulkan.
Praktik maraknya joki tugas ini, saya amati terjadi setelah COVID-19. Meskipun dulu, semasa S1, sebelum pandemi yang merenggut jutaan orang itu, praktik joki tugas juga sudah ada, namun belum begitu ramai. Dan, menariknya, orang-orang yang memilih “bekerja” sebagai joki tugas itu adalah yang punya penghasilan di bawah standar UMR, meskipun juga ada teman yang sudah mapan secara ekonomi, namun memilih menjadi joki untuk menambah penghasilan. Para penjoki ini memanfaatkan skill yang dimilikinya, seperti skill menulis, ms word, excell, power point, dan lain-lain, untuk menawarkan jasa-jasanya kepada pelanggan, dalam hal ini adalah mahasiswa dan pelajar.
Banyak pengamat pendidikan hingga dosen, salah satunya Prof Dr Sunny Ummul Firdaus SH, MH, selaku dosen Fakultas Hukum sekaligus Ketua Majelis Kode Etik Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS), yang mengatakan bahwa joki tugas sangat mencederai integritas akademik. Selain itu, pengguna jasa joki tugas ini juga tak adil bagi mahasiswa yang benar-benar bekerja keras mengerjakan tugasnya secara sungguh-sungguh. Belum lagi, pertanggungjawaban di dunia kerja. Mahasiswa pengguna joki tugas akan menghadapi ujian sebenarnya di dunia kerja, yang tentu, tak bisa dijokikan.
Joki tugas, menurut saya, akan seterusnya tetap ada. Selagi masih ada dunia kampus, joki tugas sulit tuk dihilangkan. Jasa ada karena kebutuhan pengguna jasa. Hukum Demand and Supply (permintaan dan penawaran) dalam hukum ekonomi ini juga berlaku dalam dunia joki tugas. Joki tugas ada karena ada permintaannya, mahasiswa yang selalu mewakilkan pengerjaan tugasnya dengan berbagai alasan.
Lalu kenapa orang-orang memilih menjadi penjoki? .
Pertama, menambah penghasilan. Para penjoki pada taraf ini adalah yang tidak memiliki kesejahteraan yang mumpuni secara gaji dari pekerjaan utamanya, misal gaji guru honorer yang sangat rendah, sehingga ia menjoki sebagai tambahan uang jajan.
Kedua, punya skill menulis dan waktu luang. Para penjoki pada taraf ini saya yakin sudah memiliki gaji dari pekerjaan utama di atas rata-rata. Namun, karena ia punya skill untuk menjalankan aksinya sebagai joki, dan ada banyak waktu luang, ia manfaatkan peluang itu. Dengan niat utama tentu saja ekonomi, dan niat kedua membantu orang lain.
Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan penjoki. Ia ada karena permintaan juga ada. Namun, saya sempat berpikir, jikapun benar alasan orang-orang menjadi joki karena pendapatan yang sedikit dari pekerjaan utamanya, bisakah kesejahteraan mereka dinaikkan (misal guru honorer gajinya ditingkatkan), sehingga mereka tak perlu susah payah untuk menjoki. Sebagaimana ada kepala negara yang ingin menaikkan gaji pejabat untuk mencegah korupsi, maka saran saya naikkan juga kesejahteraan para pekerja yang gajinya masih rendah, sehingga tak ada alasan buat mereka menjadi penjoki.