Dunia selebritas tidak bisa dipisahkan dari popularitas. Untuk mencapainya, diperlukan kiprah. Di dalam menjalani kiprah, tak jarang mereka memerlukan nama panggung alias nama showbiz atau nama layar. Biasanya, berupa nama samaran yang disematkan pada identitasnya yang “baru”.
Ada berbagai cara untuk menemukan nama panggung. Bisa dengan menyederhanakan nama aslinya yang boleh jadi terlalu panjang. Tujuannya, agar mudah diucapkan dan diingat.
Bisa juga dengan mengubah nama asli menjadi berkesan kebarat-baratan, kearab-araban, atau yang lainnya (biasanya yang sedang ngetren). Cara ini memang agak kontroversi. Akan tetapi, bisa menjadi pemikat. Khususnya, bagi publik luar negeri. Seperti vokalis band rock legendaris asal Britania Raya, Queen, Freddie Mercury, yang mengubah nama aslinya Farrokh Bulsara. Dari nama lahirnya, kita bisa tahu, kalau vokalis yang satu ini bukan orang Inggris, melainkan orang Parsi.
Cara lainnya, bisa juga dengan menggunakan nama sapaan yang sudah kadung populer saat kanak-kanak atau masih remaja di kalangan teman sebaya. Contohnya, Denny Caknan yang nama aslinya adalah Deni Setiawan. Atau, dengan menggunakan nama tengah, jika nama asli kita terdiri atas tiga kata. Mungkin pula dengan menggunakan satu kata dari kata-kata yang menyusun nama lengkap kita.
Tak hanya di situ. Penggunaan nama panggung kadang diikuti pula dengan branding. Seperti yang dilakukan Agnes Monica Muljoto yang kemudian membranding dirinya menjadi Agnes Mo setelah ia berkarir di Amerika. Begitu juga dengan Anggun Cipta Sasmi yang selanjutnya memilih menggunakan nama Anggun setelah ia di Perancis. Sebelumnya, saat berkarir di Indonesia, ia menggunakan nama Anggun C. Sasmi.
Lalu, apa alasan mereka menggunakan nama panggung? Tentu, ada berbagai alasan. Yang paling mendesak adalah tuntutan dunia industri. Khususnya, industri hiburan. Lain-lainnya, berkait paut dengan privasi, membedakan peran dunia nyata dan panggung, membuka peluang dalam bisnis hiburan, bahkan sampai pada perlindungan hukum.
Tetapi, ada peristiwa menarik mengenai nama panggung. Peristiwa itu mungkin saja memberi kesan haru bagi sebagian warga dunia. Khususnya, penggemar film Barat.
Kala itu, Sabtu (17/5/2025), Emma Stone, seorang aktris dengan suaranya yang serak basah, duduk di antara pemain dan sutradara film. Ada Pedro Pascal, Austin Butler, Joaquin Phoenix, dan Ari Aster. Ia dan yang lainnya, tengah menggelar konferensi pers untuk promosi debut film barunya, Eddington, yang secara istimewa digelar dalam rangkaian acara Festival Film Cannes di Perancis. Di sela-sela sesi tanya jawab dengan jurnalis, salah seorang di antara wartawan mengangkat tangan dan menyampaikan sesuatu pada Emma.
Wartawan itu berkata, “Setahun lalu, pada konferensi pers yang sama di ruangan ini pula. Saat itu saya menyapa Anda dengan nama asli Anda, Emily.”
Mendengar pernyataan itu, Emma Stone tertawa ramah dan membalas, “Ya. Senang rasanya bisa kembali bertemu.”
Wartawan asal Kazakhstan dari majalah 98 itu lantas melanjutkan, “Video ini, dan kesan hangat serta keramahan Anda dalam menanggapi pernyataan saya kala itu menjadi viral di media-media Barat. Begitu pula di negara asal saya, Kazakhstan. Dan, dari video itu saya sungguh-sungguh merasa sangat beruntung karena karir saya menanjak, begitu pula kehidupan pribadi saya menjadi lebih baik.”
Emma menyela, “Apakah hanya dengan menyapa saya, Emily?” yang disusul tawa seluruh hadirin dalam ruangan itu.
Wartawan yang bernama Yorgos Lanthimos itu balik membalas, “Ya, hanya dengan mengucapkan satu kata itu, Emily.” Lantas, ia melanjutkan dengan pertanyaannya mengenai film yang sedang dipromosikan Emma.
Menariknya, Emma Stone memberi tanggapan yang ramah. Ia bilang, “Terima kasih, saya merasa sangat senang karena nama itu membuat kehidupan Anda jadi lebih baik.”
Perbincangan Emma Stone dengan wartawan itu, bagi saya sangat menarik. Sebab, tidak banyak pesohor seperti Emma Stone. Begitu rendah hati. Ia tidak merasa tertekan hanya gara-gara nama lahirnya disebut-sebut.
Ada kalanya seorang pesohor akan merasa tertekan apabila masa lalunya diungkap, walau sekadar nama. Tentu, ada banyak alasan mengapa itu bisa terjadi. Salah satunya, mungkin saja ia merasa trauma dengan masa lalunya yang buruk. Sehingga, kebanggaan ia menggunakan nama panggung boleh jadi sebagai salah satu cara untuk menghapus trauma masa lalu.
Tidak jarang, pesohor-pesohor itu memiliki masa lalu yang suram. Kehidupan ekonomi yang jauh di bawah garis kemiskinan. Mengalami penderitaan yang amat menyakitkan karena harus bekerja lebih keras untuk memperbaiki keadaan. Mungkin pula kehidupan keluarga yang buruk, seperti broken home.
Tidak heran, jika ada sebagian pesohor yang berusaha menutupi pengalaman pahit itu. Tetapi, ada pula yang mau terbuka. Dan, dengan kisah-kisah pahit para pesohor itu para penikmat dunia hiburan mestinya mengambil pelajaran penting dari kehidupan mereka. Bukan hanya ingin meniru apa yang sudah mereka capai saat ini. Toh, belum tentu pula kejayaan mereka akan diakhiri dengan kisah yang indah.
Beberapa pesohor bahkan mengalami trauma yang mendalam atas popularitasnya. Mereka merasa puncak popularitas itu membuat hidup menjadi sepi. Jauh dari kenyataan. Sebab, ia mesti menjalankan kehidupan yang serba “semu”. Menjadi pribadi yang berbeda dari yang sesungguhnya.
Selain itu, mereka mesti memenuhi keinginan dari penggemarnya atau dari perusahaan industri tempat ia bekerja. Mereka kehilangan banyak waktu untuk menjalani hidup sebagaimana adanya. Dan, pada puncaknya, mereka bisa saja menjadi sangat depresi, hingga mengakhiri hidup mereka dengan cara yang tragis.
Sebut saja misal, Elvis Persley, raja rock and roll, mengakhiri hidup dengan mengonsumsi obat-obatan terlarang hingga overdosis. James Hendrix, gitaris ternama, mati karena hal serupa dan dipicu oleh depresi akut. Demikian pula, Kurt Cobain, yang memilih mati dengan cara yang sama dan dipicu oleh stress tingkat dewa. Masih banyak lagi deret nama pesohor yang mengakhiri hidupnya karena tak kuat menanggung beban popularitas.
Begitulah! Betapa popularitas itu ibarat gula yang beracun. Manis di awal, lantas memabukkan. Dan akhirnya, bisa saja memerosokkan seseorang pada kematian yang mengenaskan, oleh sebab tak mampu mengelola diri secara lebih baik.
Sungguh, saya kagum pada sikap yang ditunjukkan Emma Stone saat konferensi pers itu. Sikap itu patutlah menjadi sebuah cerminan bagi semua orang. Khususnya, bagi mereka yang saat ini tengah bersusah payah menggapai popularitas di jagat maya dan yang tengah mempertahankannya sebagai selebritas dunia maya.