Saya berdiri di sebuah tempat yang aneh dalam spektrum sosial-ekonomi. Sebut saja saya “kelas menengah”—sebuah label yang sering kali berarti serba tanggung. Tidak cukup kaya untuk melupakan harga kebutuhan pokok, namun cukup beruntung untuk tidak pernah benar-benar merasakan lapar. Dari posisi inilah, saya menjadi pengamat, seorang penonton yang bisa menoleh ke dua arah: ke arah gemerlapnya “atas” dan ke arah berlikunya “bawah”.
Selama bertahun-tahun, sebuah pola mulai terbentuk, sebuah ironi getir yang terus-menerus mengusik benak saya. Luka, kekecewaan, dan rasa “didholimi” yang saya alami, secara statistik dan pengalaman pribadi, lebih sering datang dari mereka yang secara ekonomi berada di bawah saya.
Ini bukan tulisan untuk menghakimi, melainkan sebuah kejujuran naratif. Ketika saya meminjamkan uang dengan niat tulus membantu, sering kali yang kembali hanyalah janji-janji kosong dan nomor telepon yang tak lagi aktif, datang dari kawan yang sedang berjuang. Ketika saya memberikan kesempatan kerja atau proyek kecil, sering kali yang saya temui adalah pekerjaan yang asal-asalan, tenggat waktu yang diabaikan, dan alasan-alasan yang seolah menempatkan saya sebagai pihak yang “harusnya maklum”. Ada rasa iri yang tersirat, ada anggapan bahwa “dia punya lebih, jadi tidak apa-apa jika kita kurangi sedikit haknya”. Rasa amanah itu terasa begitu rapuh, mudah luluh di hadapan kebutuhan jangka pendek.
Sebaliknya, saat saya berinteraksi dengan teman-teman atau kolega yang secara finansial jauh di atas saya, pengalaman yang saya dapat nyaris berkebalikan. Tentu, mereka ada di dunia yang berbeda. Jadwal mereka padat, standar mereka tinggi. Namun di balik itu, saya menemukan sebuah pola yang konsisten. Janji adalah janji. Waktu adalah aset. Ucapan “terima kasih” dan “tolong” terdengar tulus dan menjadi standar. Ketika ada kesepakatan bisnis, semuanya tercatat rapi. Ketika ada janji temu, mereka datang tepat waktu atau memberi kabar jauh-jauh hari.
Saya berani mengatakan, 95% dari mereka yang saya kenal di “atas” sana memiliki attitude yang luar biasa. Mereka menghargai relasi, karena mereka paham bahwa reputasi adalah mata uang yang tak ternilai. Mereka tidak punya waktu untuk drama sepele atau konflik yang menguras energi. Fokus mereka adalah pertumbuhan, kolaborasi, dan menjaga nama baik. Mereka memperlakukan orang lain dengan hormat bukan karena basa-basi, tetapi karena itu adalah pondasi dari ekosistem tempat mereka bernaung. Kepercayaan adalah segalanya.
Lalu, saya mulai menghubungkan titik-titik ini. Muncullah sebuah pemahaman yang menyedihkan: Mungkin yang kaya makin kaya bukan melulu karena modal atau warisan, tetapi karena mereka memelihara adab yang melahirkan kepercayaan. Dan mungkin, yang miskin tetap terperangkap dalam kemiskinan bukan hanya karena kurangnya kesempatan, tetapi karena—terkadang—ada mentalitas yang tanpa sadar justru menghancurkan jembatan kesempatan itu sendiri.
Bagaimana Anda bisa membangun bisnis jika Anda tidak bisa dipercaya memegang uang pinjaman kecil? Bagaimana Anda bisa naik jabatan jika Anda tidak bisa diandalkan untuk menyelesaikan tugas sederhana tepat waktu? Kepercayaan adalah tangga menuju kemakmuran. Jika anak tangga pertama sudah Anda patahkan dengan tangan sendiri, bagaimana Anda bisa naik lebih tinggi?
Di sinilah saya teringat pada sebuah dalil yang luar biasa dalam dan tajam dalam Islam: “Kefakiran itu mendekatkan pada kekufuran” (HR. Abu Nu’aim).
Dulu, saya memahami “kekufuran” di sini hanya sebatas ingkar kepada Tuhan. Namun setelah merenungi pengalaman hidup, saya menyadari maknanya jauh lebih luas. “Kufur” di sini bisa berarti kufur nikmat—mengingkari kebaikan kecil yang datang. Ia bisa berarti hilangnya rasa syukur, yang kemudian menjelma menjadi iri dan dengki. Ia bisa berarti hilangnya integritas, di mana kebutuhan mendesak menghalalkan segala cara, termasuk mengkhianati kepercayaan. Kefakiran, dalam kondisi ekstremnya, menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa. Ia membuat logika bertahan hidup jangka pendek mengalahkan visi jangka panjang. Ia membuat seseorang lebih mudah berprasangka buruk (su’udzon), lebih mudah merasa dunia tidak adil, dan pada akhirnya, melakukan tindakan-tindakan yang justru menjauhkan rezeki.
Ini adalah sebuah lingkaran setan. Kemiskinan melahirkan keputusasaan, keputusasaan merusak adab, adab yang rusak menghancurkan kepercayaan, dan hancurnya kepercayaan menutup pintu rezeki. Lingkaran itu terus berputar, menjerat semakin erat.
Sebaliknya, mereka yang terbiasa hidup dengan kelapangan sering kali memiliki kemewahan untuk berpikir jangka panjang. Mereka memupuk adab sebagai investasi. Sikap yang baik membuka pintu jaringan. Jaringan membuka pintu kesempatan. Kesempatan, jika dieksekusi dengan amanah, akan menghasilkan kemakmuran. Ini adalah lingkaran kebaikan.
Tentu, ini bukan generalisasi mutlak. Ada orang kaya yang sombong dan culas, dan ada jutaan orang miskin yang hatinya mulia laksana malaikat, yang menjaga kehormatan di tengah himpitan. Namun, sebagai sebuah pola yang saya amati dari persimpangan jalan hidup saya, fenomena ini terasa begitu nyata.
Jadi, ketika orang berbicara mengapa “yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin”, saya tidak lagi hanya berpikir tentang sistem, kebijakan, atau modal. Saya juga berpikir tentang sesuatu yang lebih mendasar, sesuatu yang ada di dalam dada: adab dan mentalitas. Ternyata, kemiskinan yang paling berbahaya bukanlah kemiskinan harta, melainkan kemiskinan jiwa. Dan kekayaan yang paling abadi bukanlah tumpukan materi, melainkan integritas diri yang melahirkan kepercayaan dari semesta.