Oleh: Moh Heru Sunarko
“Kita ingin suasana di luar kampus memberikan inspirasi dan motivasi kepada mahasiswa bahwa jalan terbaik untuk meraih sukses adalah belajar keras, menjaga integritas, dan mengembangkan keahlian serta keterampilan komunikasi. Tetapi sangat memilukan, yang selalu saja menjadi sumber pemberitaan adalah drama politik, berita korupsi, mafia hukum, dan dunia selebritis” – Komaruddin Hidayat
Di sebuah esai berjudul Langit Mendung di Atas Kampus, Prof. Komaruddin Hidayat menyampaikan kegelisahan yang sangat relevan yaitu pendidikan tinggi kita semakin jauh dari denyut nadi masyarakat. Kampus yang seharusnya menjadi tempat lahirnya pemikiran progresif, justru sering terjebak dalam rutinitas administratif dan perayaan gelar akademik. Sementara masyarakat di luar sana terus bergulat dengan persoalan yang tak kunjung selesai.
Mengapa kita harus membangun ekosistem masyarakat yang baik? Karena sebaik apa pun teori yang kita pelajari, ia akan tumbang jika hidup dalam ruang sosial yang cacat. Pendidikan bukanlah menara gading. Ia harus berpijak di tanah yang nyata. Tapi bagaimana mungkin teori keadilan bisa tumbuh jika masyarakatnya penuh ketimpangan? Bagaimana mungkin kita bicara demokrasi jika partisipasi dibungkam dan suara rakyat ditertawakan?
Pendidikan tanpa ekosistem sosial yang mendukung hanya akan melahirkan frustrasi. Kita mencetak cendekia, tapi tak menyiapkan tanah yang subur untuk gagasan mereka tumbuh.
Di ruang kelas, mahasiswa belajar tentang etika, keadilan, pembangunan berkelanjutan, dan hak asasi manusia. Tapi saat mereka turun ke lapangan entah itu di desa, birokrasi, atau dunia kerja, semua teori itu kerap tak relevan. Realita begitu keras, begitu cair, dan sering kali korup. Apa yang dibenarkan dalam teori, tak laku dalam praktik. Justru yang bertahan adalah mereka yang bisa menyesuaikan diri dengan sistem, bukan yang menantangnya.
Inilah ironi pendidikan modern yang semakin tinggi gelar seseorang, semakin besar peluangnya untuk berkompromi dengan sistem, bukan mengubahnya.
Banyak anak muda merasa putus asa. Mereka telah belajar keras, menyusun skripsi, menyelesaikan studi, namun realita hidup tak berubah. Bahkan lebih pahit. Ini bukan semata-mata karena mereka kurang usaha, tapi karena sistem sosial-ekonomi kita tak memberi ruang bagi idealisme bertumbuh.
Ketika pendidikan tidak mampu mengubah keadaan, ia menjadi percuma. Bukan karena pendidikan itu sendiri salah, tapi karena kita tidak pernah membangun jembatan antara ilmu dan aksi, antara gagasan dan keberpihakan.
Artikel Prof. Komaruddin adalah tamparan lembut bagi semua pihak yaitu akademisi, mahasiswa, birokrat, dan masyarakat umum. Bahwa pendidikan harus kembali ke akar yang menyentuh realita, bukan hanya merayakan akreditasi.
Kita butuh kampus yang lebih dari sekadar tempat belajar. Kita perlu kampus yang menjadi pusat perlawanan atas ketimpangan. Kita perlu masyarakat yang mendukung ilmu pengetahuan, bukan mencurigainya.
Langit boleh mendung di atas kampus, tapi itu bukan akhir dari cerita. Mungkin ini saatnya kita menyalakan cahaya dari bawah, dari gerakan masyarakat, dari mahasiswa yang mau turun ke jalan, dari dosen yang mau berdialog dengan petani dan buruh, dari kebijakan yang berpihak pada mereka yang tak punya suara.
Karena jika pendidikan tak lagi relevan dengan kenyataan, untuk apa kita membanggakannya?
Catatan: Artikel ini terinspirasi dari pemikiran Prof. Komaruddin Hidayat, digabungkan dengan realitas sosial yang kita hadapi hari ini. Ditulis untuk membuka ruang dialog dan bukan untuk menyalahkan, tapi untuk bertanya: mau dibawa ke mana pendidikan kita?