Beranda Opini Toleransi Beragama Kian Retak dan Ironi Pembubaran Retret Pelajar Kristen

Toleransi Beragama Kian Retak dan Ironi Pembubaran Retret Pelajar Kristen

0

Oleh: Abdul Warits*

Peristiwa pembubaran kegiatan retret pelajar Kristen di Sukabumi, Jawa Barat, baru-baru ini menjadi sorotan publik dan menambah daftar panjang kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Kegiatan yang sejatinya bersifat keagamaan, damai, dan bersifat internal itu dibubarkan oleh sekelompok masyarakat atas alasan yang belum sepenuhnya bisa dibenarkan oleh hukum maupun nilai kebhinekaan yang dipegang oleh negara.

Lalu, bagaimana akar masalah dan refleksi terhadap pentingnya menjaga toleransi dan kebebasan beragama di tengah pluralitas bangsa Indonesia.

Retret, Krisis Toleransi dan Kebebasan Beragama

Retret dalam tradisi Kristen merupakan momen refleksi, penyegaran spiritual, dan pembinaan iman bagi para pelajar maupun umat pada umumnya. Kegiatan ini dilaksanakan secara tertutup, tidak bersifat konversi, dan umumnya dilakukan di tempat terpencil yang tenang. Dalam konteks kegiatan di Sukabumi, para pelajar berkumpul untuk merenungkan nilai-nilai kehidupan dan iman mereka. Namun, ironisnya, kegiatan yang sah secara konstitusional ini dibubarkan oleh sekelompok warga dengan dalih perizinan atau penolakan kegiatan agama non-Islam di daerah tersebut.

Pembubaran ini menjadi bukti bahwa masih ada persoalan serius dalam implementasi kebebasan beragama di Indonesia. Padahal, UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 dengan jelas menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Fakta bahwa suatu kelompok agama tak dapat menjalankan kegiatan internalnya menunjukkan adanya krisis dalam menegakkan nilai-nilai konstitusi.

Intoleransi yang melatarbelakangi pembubaran ini mencederai prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Tindakan sewenang-wenang seperti ini tidak hanya merugikan umat Kristen, tetapi juga merusak tatanan kehidupan berbangsa yang plural dan damai.

Negara seharusnya hadir sebagai penjamin kebebasan dan pelindung bagi semua pemeluk agama, tanpa diskriminasi. Pembiaran atau kelambanan penegakan hukum dalam kasus seperti ini menciptakan ruang bagi kelompok intoleran untuk terus melakukan tindakan serupa. Pemerintah daerah dan aparat keamanan memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjaga harmoni, serta bertindak tegas terhadap aksi-aksi intoleran.

Selain itu, pendidikan multikultural dan penguatan wawasan kebangsaan harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan nasional. Generasi muda perlu dibekali dengan nilai-nilai inklusif, bukan didorong untuk mencurigai atau bahkan memusuhi perbedaan.

Toleransi adalah Pilar Kebangsaan. Pembubaran retret pelajar Kristen di Sukabumi seharusnya menjadi momentum bagi bangsa ini untuk introspeksi. Kita tidak hanya berbicara tentang satu kasus, melainkan tentang sistem nilai yang tengah terkikis. Toleransi bukan sekadar semboyan, melainkan pondasi dari keutuhan Indonesia sebagai negara multikultural. Tanpa penghormatan terhadap hak minoritas, kita sedang menggali jurang disintegrasi.

Sudah saatnya semua pihak—pemerintah, tokoh agama, pendidik, dan masyarakat luas—berdiri bersama untuk menegakkan kebebasan beragama sebagai hak dasar manusia. Hanya dengan semangat inklusif dan komitmen terhadap keadilan, Indonesia bisa menjadi rumah yang damai bagi seluruh warganya, apapun agama dan keyakinannya.

*Sekretaris Duta Damai Santri Jatim

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini