Oleh: Khoirunnisa Fadilatul Aeni
Fenomena kesurupan masih menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat Indonesia, meskipun kita telah memasuki era modern yang penuh dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesurupan, yang dalam istilah psikologi dikenal sebagai trance atau kondisi disosiatif, acap kali dianggap sebagai bukti keberadaan dunia tak kasat mata, khususnya dalam kebudayaan yang masih lekat dengan nilai-nilai spiritual dan mistik.
Menurut Arni & Halimah (2020), kesurupan merupakan bentuk manifestasi psikologis yang muncul akibat tekanan emosi atau gangguan kejiwaan yang belum tertangani. Namun, dalam masyarakat tradisional, fenomena ini sering kali dikaitkan dengan roh halus, makhluk gaib, atau kutukan. Perbedaan tafsir antara sains dan budaya ini mencerminkan konflik antara logika modern dan kepercayaan lama yang terus hidup berdampingan.
Di sekolah-sekolah menengah, terutama di daerah pedesaan, kasus kesurupan massal bukan hal asing. Media kerap memberitakan siswa yang tiba-tiba menjerit, menangis, atau bertindak tak terkendali. Kejadian seperti ini sering dikaitkan dengan “gangguan roh” atau “penunggu lokasi” tertentu. Namun, menurut Hamzah (2022) pola kejadian tersebut sering berakar pada ketegangan kolektif, kurangnya komunikasi emosional, dan tekanan akademis yang menumpuk pada siswa.
Fenomena kesurupan juga dapat dilihat sebagai bentuk protes bawah sadar terhadap tekanan sosial. Dalam kajian psikososial, ekspresi kesurupan dipandang sebagai saluran alternatif bagi individu yang tidak mampu mengutarakan perasaannya secara verbal. Hal ini ditegaskan oleh Anjaryani (2016) yang menjelaskan bahwa kesurupan di lingkungan kerja, khususnya pada perempuan, sering terjadi di tempat dengan tekanan tinggi dan komunikasi otoriter.
Masyarakat modern cenderung terbelah antara mereka yang menjelaskan kesurupan secara ilmiah dan mereka yang tetap percaya pada kekuatan supranatural. Dalam studi etnografi Arifin & Zulkhair (2011), ditemukan bahwa di beberapa daerah urban pun, praktik pengusiran roh (ruqyah) masih marak dilakukan dan dipercaya mampu menyembuhkan gangguan nonfisik. Ini menandakan bahwa modernitas tidak selalu menghapus keyakinan tradisional.
Salah satu penyebab kesurupan sulit ditangani secara objektif adalah karena keterbatasan pendekatan lintas disiplin. Psikolog melihatnya sebagai gangguan kejiwaan, antropolog menilainya sebagai fenomena budaya, dan agamawan memaknainya sebagai gangguan jin. Ketiga perspektif ini jarang dipadukan dalam penanganan yang komprehensif. Menurut Hesmi (2018) penanganan kesurupan sebaiknya dilakukan dengan pendekatan interdisipliner, yakni melibatkan tenaga kesehatan mental, tokoh agama, dan pemuka adat secara bersamaan.
Dari sisi medis, kesurupan termasuk dalam kategori gangguan disosiatif, khususnya trance and possession disorder dalam klasifikasi DSM-5 (American Psychiatric Association, 2013). Namun, penggunaan istilah “kesurupan” sering kali memunculkan resistensi dalam masyarakat karena konotasinya yang menyeramkan dan mistis. Oleh karena itu, edukasi masyarakat mengenai istilah medis dan mekanisme kejiwaan sangat diperlukan agar stigma terhadap penderita dapat dikurangi.
Pendidikan memiliki peran penting dalam menyikapi fenomena ini. Kurikulum sekolah seharusnya tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga aspek emosional dan spiritual siswa. Menurut Purnama, dkk (2024) pendekatan pendidikan yang holistik dapat mengurangi kejadian kesurupan massal karena siswa memiliki wadah untuk menyalurkan tekanan psikologis dan eksistensial yang mereka alami.
Salah satu tantangan besar adalah bagaimana media massa melaporkan fenomena ini. Banyak tayangan televisi yang cenderung mengeksploitasi kesurupan sebagai tontonan dramatis dan menakutkan, bukan sebagai persoalan sosial dan psikologis yang butuh perhatian serius. Hal ini turut membentuk persepsi publik bahwa kesurupan adalah hal gaib yang harus ditakuti, bukan dipahami. Menurut Pratiwi (2020) media perlu mengedepankan pendekatan edukatif dan tidak sensasional saat meliput peristiwa semacam ini.
Perubahan paradigma juga perlu terjadi di kalangan praktisi kesehatan. Banyak tenaga medis yang enggan menangani kasus kesurupan karena dianggap di luar kompetensi profesional. Padahal, dengan pelatihan yang tepat, tenaga kesehatan dapat memainkan peran penting dalam membantu pasien yang mengalami gejala disosiatif, tanpa mengabaikan aspek budaya yang menyertainya.
Di sisi lain, pendekatan spiritual dan tradisional tidak serta-merta dapat diabaikan. Keberadaan dukun, ustaz, atau tokoh spiritual lokal sering kali menjadi pihak pertama yang dihubungi ketika seseorang kesurupan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat masih percaya pada kekuatan lokal dalam mengatasi krisis personal. Menurut Andri dkk (2023) penting untuk membangun jembatan antara pengobatan modern dan tradisional agar tidak terjadi dikotomi yang merugikan pasien.
Kita juga harus mengakui bahwa kesurupan, meskipun tampak menyeramkan, adalah bagian dari dinamika budaya yang mencerminkan ketidakseimbangan dalam individu maupun masyarakat. Perlu adanya ruang dialog antara ilmuwan, praktisi budaya, dan masyarakat agar fenomena ini tidak terus-menerus berada di wilayah abu-abu pemahaman.
Dalam konteks masyarakat modern, fenomena kesurupan seharusnya tidak lagi menjadi wilayah eksklusif kepercayaan mistis semata. Kita membutuhkan pendekatan yang holistik dan humanis, yang tidak hanya fokus pada pengusiran roh, tetapi juga pada pemulihan psikologis individu. Ini sejalan dengan visi kesehatan mental global yang mengedepankan kesejahteraan emosional sebagai bagian integral dari kehidupan manusia.
Kesurupan bukan semata-mata soal roh dan dunia gaib, tetapi tentang bagaimana kita sebagai masyarakat merespons gejala-gejala psikologis dan sosial yang muncul dalam bentuk yang tidak biasa. Edukasi publik, media yang bertanggung jawab, serta pendekatan interdisipliner adalah kunci untuk menangani fenomena ini secara bijak dan beradab.
Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata, ada wilayah tengah yang hanya bisa dijembatani melalui empati, pengetahuan, dan komunikasi lintas budaya. Di era modern ini, pemahaman terhadap kesurupan seharusnya tidak lagi berhenti pada rasa takut, melainkan berkembang menjadi kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa dan budaya saling memahami.
REFERENSI
Anjaryani, Anna Maria. 2016. “Dinamika Kesurupan Patologis”. Experentia 4(1):11–22.
Arifin, Zainul, and Zulkhair. 2011. “Gangguan Kesurupan Dan Terapi Ruqyah.” El-Harakah 13(2):1–15.
Arni, and Nor Halimah. 2020. “Fenomena Kesurupan:Studi Analisis Kritis Dalam Kajian Teologi Dan Psikologi Islam.” Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 10(2):105–22.
Hamzah, Imaduddin. 2022. “Kesurupan Massal Di Sekolah Menengah: Kerasukan Roh Jahat Atau Emotional Contagion?” Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi 8(2):215–30. doi: 10.15575/psy.v8i2.7940.
Pasmawati, Hesmi. 2018. “Fenomena Gangguan Kesurupan (Dalam Perspektif Islam Dan Psikologi).” El-Afkar 7(1):1–13.
Pratiwi, Dika Adityas. 2020. Diskursus Mistisisme Dalam Beberapa Konten Youtube Jurnalrisa. Skripsi. Universitas Islam Indonesia.
Purnama, Ila Asyifa, Fahma Akbariska, Ismi Sabila, Widi Yanti Fadhillah, and Tedi Supriyadi. 2024. “Fenomena Gangguan Disosiatif Possession Disorder Trance.” 5:13456–74.
Togatorop, Andri Rifai, Andri Vincent Sinaga, and Juan Ananta Tan. 2023. “Mysticism and Traditional Medicine: A Study of Christian Theology on Mysticism and Traditional Medicine and Its Reflections for Christians Today.” Journal of Religious and Socio-Cultural 4(2):171–98.






Emang sekarang masih musim orang orang stress si agaknya berita ini sangat realistis dengan sekitar ya