Ekalaya

Bambang Ekalaya. Demikian nama murid Dronacharya. Cerdas dan tangkas. Kecerdasan dan ketangkasannya boleh dibilang mampu menandingi—atau malah mengalahkan—murid kesayangan sang guru, Arjuna. Rupawan pula.

Sayang, ia bukan murid yang diinginkan. Walau begitu, sikap Ekalaya tak berubah. Tetap menjunjung tinggi kehormatan sosok guru. Kepatuhannya tak tanggung-tanggung. Apa saja akan dilakukan demi membuat senang hati sang guru.

Cita-cita Ekalaya agar diangkat murid Dronacharya tertanam sejak masih belia. Apalagi Dronacharya dikenal sebagai guru militer yang hebat. Guru bagi dua klan dari keluarga Bharat, Pandawa dan Kurawa, yang kelak terlibat dalam perang besar di Kuruksetra, Barathayuda.
***

Kisah Bambang Ekalaya dimulai di rimba. Saat berlatih memanah, dari jauh terdengar suara nyalak anjing. Tak cukup sekali, anjing itu terus-terusan menggonggong.

Kegaduhan itu merangsek suasana hati Ekalaya. Mengusik ketenteramannya. Diusirlah anjing itu. Tetapi, nyalak anjing tak juga berhenti. Malah makin menjadi. Perlahan, darah mudanya kian memanas hingga mencapai titik didihnya. Membimbing amarahnya untuk memerintah kedua tangannya mengangkat gandewa dan anak panah.

Tangan kiri memegang gandewa. Sementara, tangan kanannya memungut tujuh anak panah dari tarkas. Ketujuh anak panah itu secara bersama-sama dipasang pada gandewa. Dibidikkan ke arah anjing. Tali gandewa ditarik kuat-kuat. Begitu ia yakin, tali dilepas. Secepat kilat, tujuh anak panah melesat dan tepat mengenai moncong anjing itu. Menyumpal mulut anjing. Membuat anjing itu tak lagi bersuara.

Ajaibnya, anjing itu tak mati. Ia berlari menembus semak di antara batang-batang pohon. Legalah hati Ekalaya. Suara gonggongan anjing tak lagi menganggu.

Tak selang lama, kedua bola matanya menangkap sesuatu bergerak-gerak di balik semak-semak. Benar saja, dari balik pepohonan, seorang ksatria muncul dengan keretanya. Menghampirinya. Ekalaya masih saja berdiang di tempat semula. Tak sedikit pun bergeser.

Kereta itu makin dekat dan berhenti tepat di hadapan Ekalaya. Dari atas kereta, ksatria itu bicara sambil mengelus-elus anjing yang ada di gendongannya, “Kisanak, aku kira kau tahu maksudku. Aku tak perlu bertanya tentang siapa. Lebih-lebih, di hutan ini tak ada orang lain, kecuali kau dan aku.”

“Maaf, Tuan, aku tak mengerti maksud perkataan Tuan,” balas Ekalaya datar.

“Tujuh anak panah ini tak mungkin tidak bertuan. Tidak mungkin pula ia melesat tanpa dilontarkan dari gandewa,” ucap ksatria itu.

Ekalaya tersenyum, kemudian berkata, “Tuan, hutan ini teramat luas. Liar pula. Dan, aku kira Tuan cukup punya pengetahuan, bahwa dunia ini tak hanya manusia yang bisa melakukan apa saja. Termasuk, memanah. Mungkin saja anak-anak panah itu dijatuhkan dari kahyangan, dilesatkan dari gandewa para dewa. Atau, mungkin ulah siluman yang suka berkeliaran di rimba raya.”

“Perkataanmu bukan perkataan seorang pemburu biasa. Kau pasti seorang ksatria. Katakan, darimana asalmu, Tuan?” mendadak ksatria tampan itu mengubah sapaannya terhadap Ekalaya.

Sapaan itu agaknya membuat Ekalaya sedikit gugup. Namun, selekas mungkin ia benahi sikapnya. Ia sadar, lelaki ksatria yang ada di hadapannya bukan ksatria sembarang. Itu dapat ia tangkap dari pakaiannya yang bersih, sikapnya yang tenang, dan tentu kereta kudanya yang dipenuhi ukiran bersepuh emas. Kuda-kudanya juga bukan jenis kuda biasa.

“Darimana pun asalku, tak begitu penting, Tuan. Apakah aku seorang ksatria atau bukan juga tak penting. Hutan telah menghapus semua itu. Begitulah, aturan yang berlaku. Siapa pun yang memasuki hutan, ia asing. Hanya ada dua pilihan, kembali pulang dengan selamat atau merelakan tubuhnya menjadi mayat tanpa ada yang merawat. Dan, selagi berada di dalam hutan, siapa pun bisa tersesat. Kecuali, orang yang setia dan cermat membaca tanda-tanda alam,” balas Ekalaya.

“Kata-kata Tuan bijaksana. Sayang, kalau kata-kata itu hanya Tuan jadikan sebagai pembungkus kebenaran. Seorang ksatria, pantang baginya membual. Katakanlah, wahai Tuan ksatria yang asing, apakah ini anak-anak panahmu?” ksatria itu mengulang pertanyaan dengan sedikit menekan nada bicaranya.

“Benda-benda tak membuktikan apa pun, Tuan. Dan, kebenaran juga tak bisa dipaksakan. Apalagi, hanya didasarkan pada anggapan yang dipicu amarah. Tidak, Tuan. Jangan kotori keretamu dengan luapan amarah yang menyesatkan dan memerosokkan harga diri Tuan. Aku mohon, jangan,” kilah Ekalaya.

Ksatria itu makin kesal oleh ulah Ekalaya. Ia merasa sedang dipermainkan. Beberapa saat, ia terdiam. Dipandangi anjing di gendongannya. Diamati tujuh anak panah yang menyumpal mulut anjing itu. Perlahan, ia teringat pada seiris peristiwa tentang anak-anak panah. Ingatan itu menuntunnya pada wajah seorang pemanah paling hebat di antara yang terhebat. Ksatria itu tercenang. Pandangannya menerawang ke awang-awang.

“Guru Drona,” ucapnya menggumam.

Rupanya ucapan itu mengusik telinga Ekalaya. Seketika rona mukanya berbinar. Wajah yang semula muram mendadak bercahaya.

“Maaf, Tuan. Apa yang barusan Tuan ucapkan?” tanya Ekalaya penasaran.

Ksatria itu hanya melempar senyuman pada Ekalaya. Ia merasa ada sesuatu yang lain pada diri Ekalaya. Lalu, ia berkata, “Bagaimana mungkin akan ku katakan padamu, Tuan? Sementara, kau masih saja menutupi sesuatu dariku. Itu tak adil.”

Ucapan itu membuat Ekalaya sedikit kikuk. Gugup. Bola matanya sedikit liar bergerak ke kiri dan ke kanan. Sementara pelupuk matanya, berkali-kali berkedip.

“Baiklah. Aku kira kita imbang sekarang. Silakan saja, Tuan simpan rapat-rapat rahasia Tuan. Aku juga akan menyimpan rahasiaku rapat-rapat. Dan, aku pastikan, kelak kita akan jumpa lagi, Tuan. Selamat tinggal,” setelah mengucapkan itu, ksatria itu segera menarik tali kekang kereta.

Kereta kuda itu melaju. Melintasi jalan setapak di antara barisan pohon-pohon. Mengikuti arah matahari terbenam. Meninggalkan Ekalaya yang dibalut rasa ingin tahu tentang siapa lelaki ksatria penunggang kereta itu. Ia merasa lelaki ksatria itu mengenal dekat sosok yang selama ini ia puja-puja sebagai guru.

Seketika, terbesit di benak Ekalaya keinginan untuk mengikuti larinya kereta itu. Lekas-lekas ia kemasi barang-barang yang ia bawa. Berharap tak terlambat untuk menyusul kereta itu. Setidaknya, ia masih bisa mengikuti dari kejauhan. Sayang, saat hendak melangkahkan kaki, ada ada sesuatu yang tiba-tiba saja menghadang. Niatnya untuk mengikuti laju kereta itu pun urung.

(bersambung)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini