Oleh: Eka Martita
Di tengah gempuran teknologi dan derasnya informasi budaya digital, Generasi Z hidup dalam persimpangan antara iman dan algoritma. Ketika teleskop menyingkap misteri alam semesta dan TikTok menyajikan narasi kehidupan dalam video 15 detik, spiritualitas tidak lagi eksklusif dimaknai secara tradisional. Bagi sebagian generasi muda, Tuhan ditemukan di antara scroll media sosial dan keheningan malam saat menatap bintang-bintang.
Mereka merumuskan ulang makna spiritualitas dalam bahasa yang lebih cair dan personal. Generasi ini tidak hanya mencari Tuhan di tempat ibadah, tetapi juga di layer ponsel, video viral, dan penjelasan kosmis melalui teleskop refleksi. Spiritualitas di era digital tidak lagi menjadi monopoli institusi agama. Generasi Z lebih terbuka terhadap pencarian makna yang tidak dibatasi oleh doktrin.
Mereka tumbuh di tengah arus sains popular seperti eksplorasi luar angkasa melalui teleskop James Webb atau Hubble yang seringkali memunculkan rasa takjub yang spiritual. Rasa kagum terhadap semesta ini kerap diartikan sebagai bentuk koneksi dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Meski cara berpikir manusia semakin rasional dan ilmiah, pertanyaan tentang keberadaan Tuhan tetap menjadi hal penting dalam usaha memahami arti hidup.
Dalam konteks ini, sains bukanlah antitesis dari iman, melainkan jalan kontemplatif baru. Di sisi lain, TikTok menjadi ruang baru ekspresi spiritual. Banyak video pendek berisi afirmasi positif, meditasi, bahkan kutipan kitab suci yang dikemas secara estetis dan menarik. Generasi Z memanfaatkan platform ini untuk membagikan perjalanan batin mereka, dari kegalauan eksistensial hingga kepercayaan yang diperoleh lewat pengalaman pribadi. Di TikTok, seseorang bisa berkata “aku sedang kehilangan arah, tapi aku percaya Tuhan masih bersamaku” dan mendapat dukungan emosional yang setara dengan komunitas spiritual.
Menariknya, spiritualitas digital ini kerap mengaburkan batas antara agama, psikologi, dan self-help. Istilah seperti “vibrasi positif,” “energi semesta,” atau “healing” populer di kalangan muda dan sering kali dikaitkan dengan pencarian jiwa. Hal ini mencerminkan tren “spiritual but not religious” (SBNR) yang semakin meningkat di kalangan Gen Z, di mana mereka memilih jalan personal menuju makna, tanpa merasa terikat pada institusi agama formal.
Tiktok sebagai ruang spiritualitas baru platform video pendek yang digemar generasi Z, tidak hanya menjadi ruang hiburan tetapi juga wadah pencarian makna. Banyak konten spiritual muncul di Tiktok, mulai dari refleksi relogius, meditasi, tafsir ayat, hingga pengalaman mistik. Walaupun spiritualitas ini terlihat informal dan cair, banyak penelitian menunjukkan bahwa Generasi Z sebenarnya haus akan makna dan keterhubungan. Bahwa Gen Z tetap mencari jawaban besar tentang hidup, mati, dan eksistensi. Namun, mereka lebih responsif terhadap pendekatan yang otentik, dialogis, dan relevan secara emosional bukan pada dogma atau otoritas keagamaan semata.
Tuhan, teleskop, dan TikTok menjadi simbol dari dunia yang tampaknya kontradiktif, namun saling melengkapi dalam spiritualitas Generasi Z. Mereka tidak memisahkan iman dari keingintahuan ilmiah, dan tidak membatasi praktik spiritual hanya di tempat ibadah. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, mereka menemukan cara baru untuk merenung, terhubung, dan mencari yang transenden baik lewat pandangan ke galaksi jauh maupun video motivasi berdurasi 30 detik. Bagi Generasi Z, percaya pada Tuhan tidak berarti menolak sains, dan mencintai sains tidak berarti kehilangan spiritualitas. Mereka hidup dalam ruang abu-abu yang menolak dikotomi. Teleskop bukan ancaman bagi iman, melainkan alat untuk memperluasnya. Media sosial bukan penyesat, melainkan ruang pencarian. Spiritualitas yang tumbuh di generasi ini bersifat lebih personal.
Tuhan, TikTok, dan teleskop refleksi adalah tiga simbol dari dunia yang tampaknya kontradiktif, namun dalam genggaman Generasi Z, semuanya menjadi jembatan menuju makna. Spiritualitas tidak lagi bersifat eksklusif terhadap ruang ibadah atau kitab suci, melainkan juga hadir dalam pengalaman digital dan kagum ilmiah. Inilah bentuk baru spiritualisme: cair, lintas media, dan tetap penuh pencarian. Karena pada akhirnya, dalam dunia yang terus berubah, manusia termasuk generasi muda tetap membutuhkan narasi tentang siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan ke mana mereka akan kembali. Semua menuntun pada satu pencarian abadi : mengenal diri dan mengenal Tuhan.
Referensi:
Barna Group. (2022). Reviving Evangelism in the Next Generation.
BBC Future. (2020). The Rise of ‘Spiritual but Not Religious’. https://www.bbc.com/future/article/20200427-why-the-spiritual-but-not-religious-are-trending. Campbell, H. A. (2012). Digital Religion: Understanding Religious Practice in New Media Worlds. Routledge.
Cotter, A. (2022). “Spiritual But Not Religious: Understanding the Rise of Irreligion Among Young Adults.” Journal of Contemporary Religion, 37(1), 1–18.
Gregory, A., & Travis, S. (2021). “Networked religion and digital spirituality on TikTok.” Media, Culture & Society.
NASA. (2024). HubbleSite.org. https://hubblesite.org/ Pew Research Center. (2020). In U.S., Decline of Christianity Continues at Rapid Pace. https://www.pewresearch.org/religion
Roof, W. C. (1999). Spiritual Marketplace: Baby Boomers and the Remaking of American Religion. Princeton University Press.
Taylor, C. (2007). A Secular Age. Harvard University Press. The Conversation. (2021). How TikTok is Shaping Religion and Spirituality for Gen Z. https://theconversation.com/how-tiktok-is-shaping-religion-and-spirituality-for-gen-z-171581 Twenge, J. M. (2017). iGen. Atria Books





