Oleh: Lalik Kongkar
Dari tadi pagi hujan menggguyur kota tanpa henti, udara yang biasanya sangat panas, hari ini terasa sangat dingin. Di jalanan hanya sesekali mobil yang lewat, hari ini hari libur membuat orang kota malas untuk keluar rumah. Di perempatan jalan Rejeng, Nabas seorang anak kecil berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah, dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan hanya saja dia begitu erat melindungi koran dagangannya dengan lembaran plastik.
“Korannya bu”, seru Nabas berusaha mengalahkan suara air hujan. Dari balik kaca mobil si Ibu menatap dengan kasihan, dalam hatinya dia merenung anak sekecil ini harus berhujan-hujan untuk menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar dua puluh ribuan dari lipatan dompetnya dan membuka sedikit kaca mobil untuk mengulurkan lembaran uang. “Mau koran yang mana bu?, tanya Nabas dengan riang”.
“Tidak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi aku juga sudah baca”, jawab si Ibu.
Si Nabas kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkannya kembali uang dua puluh ribu yang dia terima, “Terimakasih bu, saya menjual koran, kalau Ibu memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya”, Nabas berkata dengan penuh ketulusan.
Dengan geram si Ibu menerima kembali pemberiannya raut mukanya tampak kesal, dengan cepat dinaikkannya kaca mobil. Dari dalam mobil dia menggerutu. “Udah miskin sombong”. Kakinya menginjak pedal gas karena lampu menunjukkan warna hijau, dia pun meninggalkan Nabas yang termenung penuh tanda tanya. Nabas berlari lagi ke pinggir, dia mencoba merapatkan tubuhnya dengan dinding ruko tempatnya berteduh.
Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil termenung dia menatap nanar rintik-rintik hujan di depannya,” Ehh Mori, hari ini belum satupun koranku yang laku”, gumamnya lemah. Hari beranjak sore namun hujan belum juga jeda, Nabas masih saja duduk berteduh di emperan ruko dekat Waeka, sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar.
Tiba-tiba di depannya sebuah mobil berhenti seorang Bapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah,”Tukang gorengan sialan, minyak kaya gini bisa bikin batuk”, dengan penuh kebencian dilemparkannya satu plastik gorengan ke dalam tong sampah, dan beranjak kembali masuk ke mobil.
Nabas dengan cepatnya menghampiri laki-laki yang ada dalam di mobil. “Mohon maaf Pak, bolehkah saya mengambil makanan yang baru saja Bapak buang untuk saya makan”, pinta Nabas dengan penuh harap.
***
Pria itu tertegun luar biasa menatap anak kecil yang ada di depannya. Harusnya dia bisa saja mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta izin. Muncul perasaan belas kasihan dari dalam hatinya. “Nana, Bapak bisa membelikanmu makanan yang baru, kalau kamu mau,”
“Terimakasih Pak satu kantongan gorengan ini sudah cukup bagi saya, boleh kan Pak?, tanya Nabas sekali lagi. “Nganceng ta d”, jawab pria tersebut dengan tertegun. Nabas berlari riang menuju tong sampah dengan wajah bahagia, dia mulai makan gorengannya, sesekali dia tersenyum melihat laki-laki yang dari tadi memandangnya.
Dari dalam mobil sang Bapak memandang terus Lalik yang sedang makan, dengan perasaan berkecamuk didekatinya Nabas, ”Nana, bolehkah Bapak bertanya kenapa kamu harus meminta izinku untuk mengambil makanan yang sudah aku buang?,” dengan lembut pria itu bertanya dan menatap wajah anak kecil di depannya dengan penuh kasihan.
“Karena saya melihat Bapak yang membuangnya saya akan merasakan enaknya makanan hari ini, kalau saya bisa meminta izin kepada pemiliknya meskipun buat Bapak mungkin sudah tidak berharga, dan saya pantas untuk meminta izin memakannya”. Jawab si Nabas sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak gorengan.
Pria itu sejenak terdiam, dalam hatinya berkata anak ini sangat luar biasa “satu lagi nak? Aku kasihan melihatmu, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya?” Si Anak kecil tersenyum dengan manis.
“Maaf Pak, bukan maksud saya menolak rezeki dari Bapak, buat saya ini lebih dari cukup. Kalau saya mencampakkan gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain yang menurut Bapak lebih layak, maka sekantong gorengan ini menjadi mubazir, basah oleh air hujan, dan hanya akan jadi makanan tikus”.
“Tapi bukankah kamu mensia-siakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik dari rasa nikmat dengan makan di restoran dimana aku yang akan mentraktirnya,“Ujar sang laki-laki dengan nada agak tinggi karena merasa anak di depannya berpikir keliru.
Dengan suara lirih Lalik pun dengan tulus melanjutkan kembali pembicaraannya, “Kalau hari ini saya makan di restoran dan menikmati kelezatannya dan keesokan harinya saya menginginkan kembali sementara Bapak tidak lagi mentraktir saya, maka saya sangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan kebahagiaannya.
Pria tersebut masih saja terpana, dia mengamati si Anak kecil di depannya yang sedang sibuk merapikan koran, dan kemudian berpamitan pergi “Ternyata bukan dia yang harus dikasihani, harusnya aku yang layaknya dikasihani, karena aku jarang bisa berdamai dengan hari ini.