Beranda Berita Jejak Langkah di Tanah Wakaf: Semangat KKN UIN Gus Dur di Linggoasri...

Jejak Langkah di Tanah Wakaf: Semangat KKN UIN Gus Dur di Linggoasri Mengabdi untuk Negeri

0

Pekalongan – Di tengah panasnya siang Kajen dan padatnya agenda pengabdian masyarakat, mahasiswa KKN UIN K.H. Abdurrahman Wahid (UIN Gus Dur) kelompok 8 tetap melangkah teguh. Mengusung tema besar “Ekoteologi dan Pertanahan”, mereka menjalankan program kerja sama antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Agama. Namun siapa sangka, perjuangan mereka tidak hanya soal mendata dan memotret lahan, tetapi juga menghadapi kenyataan betapa rumitnya persoalan tanah wakaf di lapangan.

Di Desa Kalijoyo, misalnya, mereka menemukan satu kasus yang cukup membingungkan. Tanah wakaf yang dulunya digunakan untuk kegiatan PAUD kini vakum karena guru pengajar sakit dan satu lagi masih cuti melahirkan. Lebih dari itu, muncul dua surat berbeda yang mengatur tanah yang sama: satu surat wakaf dari perorangan dan satu lagi surat hak guna tanah kas desa untuk PAUD Muslimat.

Status kepemilikan tanah pun menjadi tidak jelas. Kelompok KKN berencana menelusuri kebenaran dokumen tersebut. Jika memang milik perorangan, mereka akan menghubungi pihak wakif untuk memastikan kelanjutan peruntukannya. Namun jika ternyata tanah kas desa, maka secara hukum tanah tersebut tidak bisa diwakafkan, sebagaimana penjelasan dari Tenaga Ahli Kementerian Desa.

Di Desa Wonorejo, persoalannya lain lagi. Dua wakif yang bernama Dasmi dan Wahab sudah meninggal dunia, dan keluarga tidak memiliki keterangan jelas mengenai tanah wakaf mereka. Tanah wakaf milik Dasmi dahulu digunakan untuk musala, tetapi setelah beliau meninggal dan anaknya mengalami kebangkrutan, tanah itu diminta kembali dan bangunan musala berubah menjadi bangunan lain.

Wakaf pun terhenti begitu saja. Sementara itu, untuk wakaf atas nama Wahab, beliau sendiri menyampaikan keberatan untuk melanjutkan prosesnya karena merasa prosesnya terlalu rumit. Tim KKN berusaha menenangkan dan mengarahkan, menawarkan bantuan agar proses wakaf bisa tetap dilanjutkan sesuai prosedur. Untuk memastikan jejak legalitasnya, tim juga berencana mengecek arsip wakaf di KUA setempat.

Berbeda lagi di Desa Pekiringan Alit, di mana tanah wakaf masih dikelola oleh perorangan tanpa lembaga resmi. Warga setempat berharap ada pergantian nazhir agar pengelolaan wakaf menjadi lebih tertata dan transparan. Menanggapi hal ini, tim KKN memberikan saran agar pengelolaan wakaf bisa dilakukan di bawah lembaga berbadan hukum seperti NU, Muhammadiyah, atau dengan membentuk lembaga wakaf baru agar memiliki kekuatan hukum yang jelas.

Di Desa Pekiringan Ageng, persoalannya tidak kalah rumit. Identitas wakif tidak sesuai dengan data yang tercatat di BPN, dan pihak desa pun tidak memiliki dokumen pendukung. Salah satu tanah wakaf atas nama Rami binti Carum kini masih dalam tahap penelusuran. Tim berencana mencari salinan Akta Ikrar Wakaf (AIW) di KUA, karena biasanya dalam akta tersebut tercantum identitas dan alamat lengkap wakif yang bisa dijadikan dasar penelusuran hukum.

Sementara itu, di Desa Sokoyoso, tim mendapati bahwa tanah wakaf yang dahulu digunakan untuk musala kini telah berubah fungsi menjadi masjid. Wakifnya adalah Nur Iman. Perubahan seperti ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Tim KKN menjelaskan kepada pihak pengelola bahwa nadzir harus mengajukan izin perubahan peruntukan ke Badan Wakaf Indonesia (BWI), dengan alasan dan bukti yang jelas bahwa perubahan tersebut membawa manfaat yang lebih besar. Setelah izin resmi turun, nadzir juga wajib mendaftarkan ulang status tanah ke BPN sesuai fungsi barunya.

Di Desa Linggoasri, ditemukan dua tanah wakaf atas nama Kusmulyano dan Nurjanah yang belum memiliki sertifikat. Meski tidak ada masalah sosial di masyarakat, tim tetap melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk mempercepat proses sertifikasi dan memastikan legalitas wakaf tersebut di masa mendatang.

Kasus yang lebih sederhana terjadi di Sanganjoyo, di mana Bapak Sukardi mengajukan permintaan untuk memisahkan sertifikat tanah pribadinya dengan tanah wakaf yang akan digunakan untuk mushala. Proses ini tidak menemui kendala berarti, hanya perlu mengikuti prosedur pemisahan sertifikat sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Namun tantangan kembali muncul di Desa Kebonagung. Di sana, data tanah wakaf yang tercatat di BPN ternyata tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Banyak nama wakif yang tidak cocok, dan sebagian data hilang. Untuk mengatasi hal ini, tim membantu menyusun surat keterangan satu nama dari desa sebagai dasar untuk memperbaiki data dan menyesuaikan dokumen resmi agar sesuai dengan kondisi di lapangan.

Dari satu desa ke desa lain, langkah demi langkah yang ditempuh para mahasiswa ini bukan hanya sekadar tugas lapangan. Mereka belajar tentang kerumitan administrasi, tanggung jawab sosial, dan pentingnya kejelasan hukum dalam menjaga amanah wakaf. Di balik tumpukan dokumen dan pencarian arsip, ada nilai-nilai pengabdian dan spiritualitas yang mereka rasakan secara langsung.

Bagi Afif Firdaus, koordinator kelompok KKN, pengalaman ini menjadi pelajaran yang jauh lebih dalam daripada sekadar praktik akademik. “Kami belajar bahwa perjuangan itu tidak selalu terlihat heroik. Kadang perjuangan itu berupa sabar menunggu, menelusuri data, berdiskusi dengan warga, dan mencari kebenaran di antara dokumen yang tidak lengkap. Tapi di situlah letak maknanya. Kami bermimpi menjadi pribadi yang bermanfaat bagi masyarakat, meski jalannya tidak mudah,” ungkapnya.

Melalui kerja keras dan ketulusan ini, KKN UIN Gus Dur membuktikan bahwa tema Ekoteologi dan Pertanahan bukan hanya konsep teoritis, melainkan panggilan moral. Bahwa menjaga tanah wakaf, menata dokumen, dan memastikan keabsahan legalitasnya adalah bagian dari menjaga amanah umat — agar setiap jengkal tanah wakaf tetap menjadi sumber keberkahan bagi masyarakat, kini dan di masa depan.

Pengirim: Slamet Nur Chamid

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini