Beranda Opini Mengubah Sampah Jadi Sumber Daya: Strategi Ekonomi Sirkular Kota Pekalongan

Mengubah Sampah Jadi Sumber Daya: Strategi Ekonomi Sirkular Kota Pekalongan

0
sumber foto: pexels.com

Oleh: Said Kosim*

Pernahkah kita berhenti sejenak dan berpikir: ke mana akhirnya sampah yang kita buang setiap hari? Sekantong plastik yang kita buang pagi ini, mungkin berakhir di TPA, menyumbat saluran air, mencemari sungai, bahkan kembali ke meja makan kita melalui mikroplastik yang terkandung dalam ikan laut. Ironisnya, selama ini kita hanya memandang sampah sebagai sesuatu yang menjijikkan, yang harus dikeluarkan secepat mungkin.

Padahal, di balik tumpukan sampah yang sering dianggap tidak berguna, ada peluang besar: energi, pupuk, hingga sumber perekonomian baru bagi masyarakat. Saatnya kita mengubah cara pandang: sampah bukan hanya masalah, tapi juga sumber daya. Di kota pesisir seperti Pekalongan, perubahan ini bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak demi menjaga lingkungan, kesehatan, dan masa depan generasi mendatang.

Kota Pekalongan menghadapi masalah sampah yang semakin rumit. Menurut data Dinas Lingkungan Hidup, jumlah sampah rumah tangga terus meningkat, sedangkan kapasitas TPA Degayu semakin sempit dan hampir penuh. Sistem pengelolaan sampah di sini masih menggunakan cara mengumpulkan, mengangkut, dan membuang, sehingga sebagian besar sampah hanya dikumpulkan tanpa dipilah atau didaur ulang. Sungai-sungai yang mengalir ke laut sering tergenang plastik bekas pakai, yang membuat ekosistem laut tercemar. Ekosistem laut ini menjadi sumber penghidupan bagi nelayan. Kondisi ini bukan hanya mengganggu kebersihan dan kesehatan lingkungan, tetapi juga memengaruhi citra Pekalongan sebagai Kota Batik Dunia, karena kota yang dikenal dengan seni dan pariwisatanya bisa menjadi terlihat buruk karena sampah yang tidak terkelola.

Masalah sampah di Kota Pekalongan tidak hanya terkait dengan peningkatan jumlah sampah, tetapi juga terkait dengan cara pengelolaannya yang belum cukup baik. Pertama, kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Degayu semakin sempit, sehingga berisiko menyebabkan penumpukan sampah dan merusak lingkungan. Kedua, masyarakat masih kurang sadar dalam memilah sampah; kebanyakan orang membuang sampah secara acak tanpa memperhatikan dampaknya. Ketiga, fasilitas dan teknologi untuk mengolah sampah secara daur ulang masih kurang, sehingga sampah yang bisa digunakan kembali justru menjadi masalah lingkungan. Keempat, sampah plastik yang masuk ke sungai dan akhirnya sampai ke laut merusak ekosistem pesisir, mengganggu kegiatan nelayan dan pariwisata di Pekalongan. Semua masalah ini menunjukkan bahwa sampah belum dianggap sebagai sumber daya, melainkan hanya sekadar limbah yang harus dikeluarkan.

Solusi untuk masalah sampah di Kota Pekalongan tidak hanya bisa dicapai dengan mengangkut dan membuangnya ke TPA. Dibutuhkan ide-ide kreatif yang bisa menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat sekaligus memanfaatkan identitas kota sebagai Kota Batik. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk Bank Sampah Digital. Warga yang mengumpulkan sampah terpilah akan mendapat poin, seperti tabungan, dan poin tersebut bisa digunakan untuk menukarkan pulsa, kebutuhan pokok, atau diskon tagihan listrik. Dengan cara ini, membuang sampah terpilah tidak lagi dianggap sebagai beban, melainkan sebagai hal yang memberi manfaat.

Selain itu, Pekalongan bisa mengembangkan konsep Ekoplastik Batik, yakni memanfaatkan plastik bekas untuk diubah menjadi serat sintetis yang kemudian digabungkan dengan kain batik sebagai produk khas kota. Dengan langkah ini, sampah plastik bisa dikurangi, sekaligus memperkuat citra Pekalongan sebagai pusat batik dunia.

Lebih jauh lagi, gerakan “Sedekah Sampah” bisa diadakan di masjid dan sekolah sebagai jembatan spiritual dan sosial. Botol plastik atau kertas bekas yang disumbangkan akan diolah, dan hasilnya digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan sosial seperti santunan anak yatim atau beasiswa. Dengan demikian, sampah tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang najis dan kotor, melainkan bisa menjadi bagian dari ibadah.

Di tingkat infrastruktur, Pekalongan juga perlu membangun mini plant waste-to-energy di TPA Degayu, yang berfungsi mengubah sampah organik menjadi biogas atau listrik kecil untuk penerangan jalan, pasar, dan balai warga.

Selain itu, di pasar tradisional, program “Sampah Jadi Rupiah” bisa dilakukan dengan mengumpulkan sisa sayur dan buah untuk dijadikan pupuk cair yang kemudian digunakan kembali oleh petani lokal. Semua inovasi ini akan menjadikan sampah bukan lagi musuh, melainkan sumber daya—sumber energi, sumber ekonomi, dan sumber keberkahan bagi masyarakat Pekalongan.

Strategi pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular di Kota Pekalongan bisa dilakukan secara bertahap. Di tahap awal, fokus utamanya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat. Pemerintah bersama komunitas lokal dapat meluncurkan gerakan “Pekalongan Bebas Sampah” melalui sosialisasi di sekolah, pasar, terminal, serta kampung-kampung. Setiap rumah tangga diharapkan memilah sampah dari sumber dengan menggunakan kantong terpisah untuk sampah organik, anorganik, dan B3. Bank sampah digital diperkuat di setiap RW agar warga mendapat insentif nyata dari sampah yang mereka kelola. Karang taruna, PKK, dan organisasi masyarakat berperan sebagai penggerak perubahan perilaku untuk membentuk kesadaran kolektif masyarakat.

Pada tahap menengah, pembangunan infrastruktur pengolahan sampah menjadi prioritas. Unit pengolahan sampah organik seperti komposter dan biogas harus ada di setiap kelurahan. Sampah anorganik dikelola untuk masuk ke industri daur ulang kreatif yang didukung UMKM. Program “Sampah Jadi Rupiah” bisa diterapkan di pasar tradisional, di mana sampah organik dari pedagang dikumpulkan lalu diolah menjadi pupuk untuk petani lokal. Kolaborasi dengan sektor swasta juga penting, baik dalam penyediaan mesin pencacah plastik, teknologi pengolahan, maupun bantuan pemasaran produk hasil daur ulang.

Di tahap jangka panjang, Pekalongan ditargetkan menjadi kota contoh ekonomi sirkular. Fasilitas waste-to-energy bisa dibangun di TPA Degayu untuk mengubah sampah menjadi energi listrik, sekaligus mengurangi ketergantungan pada pengumpulan sampah. Seluruh sistem pengelolaan sampah nantinya terintegrasi dengan teknologi smart city, sehingga warga bisa memantau volume sampah, distribusi ke bank sampah, hingga mendapatkan insentif melalui aplikasi digital. Selain itu, Pekalongan juga bisa mengembangkan konsep wisata edukasi sampah dengan menjadikan pusat pengolahan sebagai tempat belajar bagi masyarakat luas. Dengan tahapan ini, masalah sampah tidak lagi jadi beban, tapi menjadi sumber daya yang memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan untuk menjaga lingkungan yang berkelanjutan.

Secara ideal, Kota Pekalongan seharusnya bisa mengelola sampah dengan cara yang terpadu dan berkelanjutan. Sampah organik bisa diubah menjadi kompos atau biogas yang berguna untuk sektor pertanian, sementara sampah anorganik bisa masuk ke industri daur ulang yang memberi nilai tambah bagi ekonomi. Dengan konsep ekonomi sirkular, sampah tidak lagi dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), melainkan kembali ke masyarakat dalam bentuk energi, pupuk, atau produk daur ulang. Selain itu, masyarakat seharusnya sudah terbiasa memilah sampah sejak di rumah, sehingga proses pengolahan sampah di tingkat akhir akan lebih mudah dan efisien.

Namun kenyataannya, kondisi di Pekalongan masih jauh dari harapan.
TPA Degayu hampir penuh, teknologi pengolahan sampah masih terbatas, dan sebagian besar masyarakat belum terbiasa memilah sampah sejak sumber. Infrastruktur pengolahan sampah modern belum merata, sehingga sebagian besar sampah masih dibuang ke tempat penimbunan atau tercecer ke sungai dan laut, yang menyebabkan pencemaran pesisir. Di sisi lain, peluang ekonomi dari pengolahan sampah belum dimanfaatkan secara optimal; usaha kecil menengah daur ulang masih sedikit, dan insentif bagi masyarakat untuk mengelola sampah secara mandiri belum berjalan baik.

Kesenjangan ini adalah tantangan yang harus diatasi. Pekalongan memiliki potensi besar untuk menjadikan sampah sebagai sumber daya, namun hingga kini masih terjebak dalam mindset bahwa sampah hanya limbah yang harus dibuang. Perubahan pola pikir, kebijakan, dan inovasi menjadi kunci untuk menutupi jarak antara kondisi yang diharapkan dan kondisi yang ada saat ini.

Sampah bukanlah akhir dari proses konsumsi, melainkan awal dari peluang baru. Pekalongan bisa belajar dari kerusakan lingkungan yang sudah terjadi, seperti sungai yang tercemar, laut yang kotor, dan terminal sampah yang nyaris penuh. Semua hal itu seharusnya menjadi pengingat bahwa kita tidak bisa lagi menunda perubahan. Dengan mengelola sampah menggunakan pendekatan ekonomi sirkular, sampah bisa diubah menjadi energi, pupuk, bahkan sumber penghasilan bagi masyarakat. Perubahan ini memang membutuhkan kerja sama: pemerintah yang punya visi, masyarakat yang peduli lingkungan, serta inovasi yang berani.

Jika Pekalongan mampu mengatasi perbedaan antara kondisi yang dibayangkan dan kenyataan, maka tidak mustahil kota ini akan dikenal bukan sebagai kota yang penuh sampah, melainkan sebagai kota inovatif yang menjadikan sampah sebagai sumber daya.
Saatnya kita berhenti melihat sampah sebagai musuh, dan mulai menerima sampah sebagai sahabat yang bisa memberi manfaat. Karena di balik setiap kantong sampah yang dibuang, ada peluang besar untuk menciptakan kota yang lebih bersih, lebih sehat, dan lebih berkembang.

*Penulis merupakan mahasiswa S1 di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini