Beranda Opini Ketika “Kita” Melihat “Mereka”: Refleksi atas Kasus Trans7 dan Pesantren Lewat Kacamata...

Ketika “Kita” Melihat “Mereka”: Refleksi atas Kasus Trans7 dan Pesantren Lewat Kacamata Agustinus Wibowo

0

Oleh: Moh. Heru Sunarko

Kasus tayangan Trans7 tentang pesantren Lirboyo memicu polemik luas. Beberapa waktu lalu, program Xpose Uncensored di Trans7 menayangkan liputan tentang tradisi di pesantren. Alih-alih dianggap sebagai dokumenter edukatif, tayangan itu justru menuai kecaman keras dari publik, terutama kalangan santri dan alumni pesantren.

Narasi dalam tayangan menyorot perilaku santri yang “rela ngesot demi kyai” atau menampilkan adegan pemberian amplop kepada Kyai seolah menjadi praktik keseharian yang tak rasional. Tayangan itu dinilai tidak proporsional dan merendahkan martabat pesantren sebagai lembaga pendidikan dan spiritual.

Protes pun datang dari berbagai arah. Hingga masyarakat umum menyebut tayangan itu melecehkan tradisi dan nilai adab dalam kultur pesantren. Pihak Trans7 akhirnya meminta maaf secara terbuka. Namun, luka sosial sudah terlanjur terbuka: mengapa lembaga pendidikan agama bisa digambarkan seolah-olah “aneh” dan “berlebihan”?

Pertanyaan ini membawa kita pada refleksi yang lebih dalam tentang cara kita memandang dunia yang berbeda dari sudut pandang kita.

Belajar dari Agustinus Wibowo dalam bukunya Kita dan Mereka, penulis dan pengelana Agustinus Wibowo mengajak kita menelusuri akar identitas manusia: bagaimana perbedaan yang mestinya memperkaya, justru menjadi tembok pemisah. Ia menulis bahwa manusia cenderung membangun batas antara kita (yang dianggap benar, rasional, modern) dan mereka (yang dianggap lain, tertinggal, atau salah).

Jika kita melihat kasus Trans7, batas itu terlihat jelas. Media, yang berdiri dari perspektif urban dan modern, mencoba menggambarkan pesantren dunia yang dianggap tradisional dengan sudut pandang luar. Akibatnya, yang muncul bukan pemahaman, melainkan stereotip.

Tradisi menghormati Kyai yang bagi kalangan pesantren merupakan simbol adab dan spiritualitas justru tampak malah seperti ketundukan buta. Padahal, dalam tradisi pesantren, penghormatan pada guru adalah bagian dari ajaran moral, bukan fanatisme.

Agustinus menyebut hal semacam ini sebagai “narasi yang timpang”, di mana satu kelompok berhak mendefinisikan yang lain tanpa mendengar cerita dari sisi seberang.

Agustinus menulis, “kita selalu melihat dunia lewat cermin persepsi yang kita buat sendiri.” Itulah yang terjadi ketika tayangan Trans7 menggambarkan pesantren hanya lewat potongan-potongan visual dramatis. Tanpa konteks budaya, setiap gestur menjadi mudah disalahartikan.

Inilah bahaya dari representasi yang tidak lengkap yaitu menilai sebelum memahami. Akhirnya media sering kali memotret “yang lain” hanya dari permukaan, tanpa menelusuri makna di balik tindakan.

Padahal, di balik ritual dan gestur penghormatan itu, ada sejarah panjang tentang ilmu, sanad keilmuan, dan nilai moral yang menjadi napas kehidupan pesantren. Ketika makna itu hilang, maka yang tersisa hanya kesan eksotis atau bahkan ejekan halus terhadap laku religius.

Media memegang kekuatan besar dalam membentuk persepsi publik. Media adalah “pembuat cerita kolektif” yang bisa menyatukan atau memisahkan manusia. Karena itu, media tak hanya bertanggung jawab pada fakta, tetapi juga pada makna.

Kasus Trans7 menunjukkan bahwa etika jurnalistik tak cukup berhenti pada akurasi, tapi harus menyentuh empati. Ketika sebuah komunitas keagamaan dijadikan tontonan tanpa memahami nilai di baliknya, maka yang terjadi bukan pencerahan, melainkan perpecahan.

Jurnalisme yang sehat seharusnya membuka ruang dialog, bukan memperlebar jarak. Ia harus berani bertanya: apakah cara kita melihat orang lain sudah adil? Apakah kamera kita merekam kebenaran, atau hanya cermin ego kita sendiri?

Kemarahan publik terhadap Trans7 adalah bentuk perlawanan terhadap penggambaran yang tidak adil. Namun di balik itu, peristiwa ini juga membuka peluang refleksi kolektif. Bahwa di negeri dengan keberagaman sebesar Indonesia, kita semua perlu belajar melihat dengan kacamata yang lebih luas.

Seperti yang ditulis Agustinus dalam Kita dan Mereka:

“Identitas tidak hanya soal siapa kita, tapi juga bagaimana kita memperlakukan mereka.”

Artinya, untuk menjaga harmoni, kita perlu menyadari bahwa setiap kelompok memiliki kisah dan kebanggaannya sendiri. Tugas kita bukan menilai, tapi memahami.

Media, sebagai ruang bersama, harus menjadi jembatan antar identitas antara santri dan masyarakat urban, antara tradisi dan modernitas bukan tembok pemisah yang memperdalam prasangka.

Kasus ini seharusnya tidak berhenti pada kecaman dan permintaan maaf. Ia bisa menjadi momentum untuk membangun budaya media yang lebih empatik dan reflektif. Dunia akan menjadi lebih damai jika kita berhenti bertanya “siapa mereka”, dan mulai bertanya “apa yang bisa saya pahami dari mereka”.

Mungkin, di situlah titik temu sejati antara kita dan mereka. Bukan dalam keseragaman, tapi dalam penghormatan terhadap perbedaan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini