Masih sore, sebuah pesan singkat mampir di WhatsApp. Bunyinya; Mas Ribut nanti masuk menit 55 ya. Balas saya singkat; Okay. Terbaca di layar hp, nama pengirimnya; Cut Ratna. Sudah pasti, itu nama seorang perempuan.

Siapa Cut Ratna? Ia seorang aktris dari Aceh. Aktif di dunia seni pertunjukan. Juga, banyak film karya sineas Aceh yang dibintangi. Konon, saat ini juga sibuk melatih para model. Cantik? Sudah pasti. Plus ramah. Bahkan, sangat mudah bergaul.

Kali pertama kami bertemu di Kampung Batik Kauman, Kota Pekalongan. Kala itu kami tengah menikmati sajian acara yang digelar komunitas pembatik Kauman, yang sedang merayakan Hari Batik Nasional. Di sela-sela acara kami berkenalan. Saling bertukar nomor WhatsApp. Kiriman pesan tadi salah satunya. Tapi, apa maksudnya?

Supaya Anda tidak dikuasai prasangka aneh, saya ceritakan saja. Kiriman pesan tadi adalah kode, agar saya segera bergabung di ruang Zoom pada menit ke-55. Ada diskusi seru yang diselenggarakan komunitas teater yang diketuai Cut Ratna. Komunitas Seuramoe Teater Aceh.

Cut Ratna mengundang saya beberapa hari sebelumnya. Tepatnya, saat suting program Ekspose di Batik TV. Cut Ratna yang kala itu jauh-jauh datang dari Aceh sebagai bintang tamunya. Saya tentu tak enak kalau tak menyanggupi. Singkat cerita, kami kemudian menyepakati, jadwal agenda itu. Yaitu, pada Sabtu sore, 24 Mei 2025.

Diskusi dimulai. Tampak pada layar plasma laptop, sosok Bang Andi Saputra, moderator diskusi. Ia membuka obrolan dengan mengenalkan forum diskusi, FiLTER namanya. Kata Bang Andi, hari itu adalah agenda perdana FiLTER. Walau begitu, ide untuk membentuk forum diskusi muncul sejak beberapa tahun lalu. Diawali dari kegelisahan akibat pandemi Covid 19 yang berakibat pada mandeknya seluruh aktivitas para pegiat teater.

Tetapi, untuk mewujudkan harapan itu rupanya butuh waktu. Ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan dan dipersiapkan. Khususnya, menyoal teknis dan topik-topik apa saja yang dibutuhkan.

Menyimak tuturan Bang Andi, saya menaruh rasa hormat yang setinggi-tingginya. Sebab, ada upaya yang menurut ukuran saya spektakuler. FiLTER menjadi semacam oasis di tengah padang tandus. Tempat berkumpulnya pegiat teater Aceh. Tempat melunasi rasa rindu. Dan, lebih penting lagi, adalah ruang temu gagasan.

Istilah ruang temu gagasan saya ambil dari sepotong perjalanan saat mengikuti program Residensi Reaktivasi Ruang Publik yang didanai Kemendikbud tahun 2024 lalu. Bersama para pegiat budaya dari berbagai 8 daerah di Indonesia, selama tujuh hari kami intens melakukan diskusi, baik di dalam agenda yang terjadwalkan maupun di luar agenda. Kami juga berbagi informasi mengenai kondisi daerah masing-masing.

Saya pikir, FiLTER merupakan ejawantah dari ruang temu gagasan itu. Apalagi dihadiri para pegiat teater senior dan yunior. Teater kampus dan teater kampung. Sebuah komposisi yang menarik!

Di layar, Bang Andi masih mensyarahkan kegelisahan-kegelisahan lainnya. Utamanya, menyoal kehidupan teater di Aceh. Katanya, denyut kehidupan teater di Aceh—mungkin juga di daerah-daerah lain—saat ini mengalami stagnasi. Atau malah mati suri! Lain cerita dengan kota-kota besar, khususnya yang menjadi menara-menara peradaban masa kini. Kehidupan teater masih cukup dapat dilihat. Walau, dalam perkembangannya—apabila mau jujur—masih terdapat beberapa catatan.

Stagnasi itu dipicu gap lintas generasi. Perbedaan cara pandang dan cara berpikir antara generasi terdahulu dengan yang kini menjadi alasannya. Lain dari itu, muncul pula kesenjangan pengetahuan dan pengalaman di antara kedua kelompok ini. Hasilnya, as roda kendaraan yang aus. Maksudnya, ada semacam kemacetan dalam menjalankan roda daur hidup teater. Mungkin butuh diolesi oli atau perlu ganti vaselin. Tetapi, bisa jadi tromolnya bermasalah. Bisa juga, karena lainnya. Serba mungkin.

Saya mengambil analogi roda dalam hal ini. Sekalipun tampak sederhana, roda dalam dunia mekanika rupanya memiliki kerumitan tersendiri. Agar roda dapat bekerja sesuai harapan, banyak elemen yang perlu dicermati. Ukuran ban, kondisi velg, bentangan ruji, tromol, sil, dan lainnya. Belum lagi karakteristik jalan yang dilalui, beban yang diangkut, kekuatan mesin, dan lainnya.

Seperti itu pula yang Bang Andi kemukakan kemudian. Selain masalah internal, faktor eksternal juga memengaruhi perjalanan roda daur hidup teater. Masyarakat, kata Bang Andi, sebagai penikmat seni pertunjukan, mula-mula memenuhi deret kursi penonton. Kini jumlah kursi yang terisi bisa dihitung dengan jari atau malah cukup dilihat. Pebisnis yang menyokong dana, agaknya juga mulai banyak yang memalingkan muka. Begitu pula, para pemangku kebijakan yang memiliki sistem dan mekanisme yang jelas, pun tak cukup dapat diharapkan. Bahkan, “pergunjingan” kesenian yang semula ramai disajikan pada lembar-lembar koran dan majalah, juga kian sepi. Belum lagi dunia akademik yang hari-hari ini dibayang-bayangi berbagai macam problem masa depan yang serupa teror, sehingga menciutkan nyali untuk menggaungkan gagasan-gagasan estetiknya.

Lontaran Bang Andi memberi gambaran yang demikian tragis. Teater seolah-olah sedang menuju alam kuburnya tanpa pelayat maupun pengantar jenazahnya. Menggali lubang untuk kuburnya sendiri pula. Ah, rasa-rasanya kian jauh dari nuansa optimisme!

Tetapi, apakah kita harus pesimis? Mungkin perlu. Kadang. Tetapi, pesimisme ini bukan lantas dijadikan sebagai penumpul semangat. Sebaliknya, pesimisme perlu dipahami sebagai cara untuk membaca gejala dan daya jangkau. Sebagai wanti-wanti. Semacam alrm.

Dengan begitu, pesimisme perlu diarahkan bagi upaya untuk menentukan sikap atas setiap gejala baru yang bermunculan. Pesimisme mungkin saja menjadi wahana perenungan untuk menemukan jawaban tentang yang mestinya dikerjakan. Bukan sebaliknya, memilih balik badan lalu berjalan memunggungi apa yang ada di hadapan.

Maka, sekali lagi, perlunya komunitas teater lebih membuka diri. Menciptakan ruang-ruang temu gagasan yang tidak diciutkan hanya bagi pegiat teater itu sendiri. Akan lebih indah rasanya apabila mengikutsertakan semua elemen masyarakat; lintas generasi, lintas disiplin, dan lintas profesi.

Sebagaimana dilakukan STA melalui FiLTER. Seperti kepanjangannya, Forum Belajar Ilmu Teater, forum ini menjadi peluang baru bagi terciptanya ruang temu gagasan yang multi. Bagi saya, ruang temu gagasan memberi kesempatan lebih banyak orang untuk mengerti apa itu teater dan bagaimana kehidupan teater dijalankan, serta mengapa perlu teater. Yang jelas, teater tidak bisa hidup sendirian. Ia membutuhkan lebih banyak elemen di luar teater itu sendiri. Teater adalah sebuah ekosistem.

Kalau demikian, ruang temu gagasan yang diciptakan mesti pula mewadahi isu-isu yang berkembang di luar dunia teater. Isu-isu itu bisa menjadi bahan bakar bagi proses penciptaan karya, lebih-lebih dalam membangun tradisi yang berterima dengan masyarakat. Dengan kata lain, penciptaan ekosistem membuka peluang bagi kehadiran teater sebagai ekspresi yang dimiliki secara bersama-sama oleh masyarakat.

Prinsip keterlibatan masyarakat tidak hanya perlu dilakukan, melainkan harus ditumbuhkan dan dikembangkan. Tujuannya, agar lebih banyak mendengar asumsi masyarakat tentang apa itu teater. Konsekuensinya, mesti tahan dengan keragaman perspektif masyarakat. Lebih-lebih, masyarakat awam. Mesti menerima pandangan minir dari mereka pula. Dengan cara itu, teater tidak lagi sebagai ruang tertutup yang dikurung oleh jargon-jargon estetika yang serupa batok kelapa. Saya kira, itu pula yang dulu pernah dilakukan mendiang WS. Rendra dengan Bengkel Teaternya.

Lain dari itu, mesti disadari pula, saat ini dan di sini, budaya industri yang mula-mula serba “memaksa” masyarakat agar memiliki selera yang dikehendaki produsen agaknya mulai melepas kungkungannya. Kemudian, menyerahkan masyarakat pada perilaku industri baru. Yaitu, yang cenderung “menuntun” masyarakat pada pilihan-pilihan yang sudah ditentukan. Masyarakat seolah-olah bebas memilih sesuai preferensi mereka. Akan tetapi, masyarakat sebenarnya tidak pernah memiliki kebebasan memilih. Mereka hanya dibuat kecanduan algoritma.

Agaknya, permasalahan ini luput dicermati. Mungkin saja, gap yang dimaksud Bang Andi merupakan buah dari perilaku candu algoritma. Dalam deras aliran algoritma itu, apakah teater perlu menceburkan diri dan berenang dalam lautan algoritma? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Bergantung pada pola yang hendak dibangun.

Menceburkan diri ke dalam kubangan algoritma mungkin saja diperlukan. Tetapi, apa tujuannya? Jika untuk mengajak pecandu algoritma menepi dan naik ke daratan, lalu seberapa besar kekuatan yang dibutuhkan? Jika pada akhirnya, malah ikut asyik berkubang dalam lautan algoritma, apa pula yang hendak dicapai? Akankah teater mengubah wujudnya menjadi bagian dari mesin?

Saya kembali terkenang pada masa silam. Saat masih tinggal di salah satu kamar kos di Semarang. Mendirikan komunitas Sastra dan Teater, Komunitas Godhong. Tiap malam kami duduk melingkar. Mengobrol tentang apa saja. Lebih banyak kami mengobrol hal-hal yang kami temui dalam keseharian. Lalu, salah seorang dari kami, secara bergiliran mengkajinya dengan sudut pandang yang beragam.

Walau obrolan itu tak selalu membincangkan masalah teater—dalam maksud seni pertunjukan, banyak hal yang kami dapatkan. Bahkan, kerap kali menjadi bahan untuk sebuah naskah yang kami susun kemudian. Hasilnya, bisa berupa pementasan teater atau pula jadi film pendek. Tetapi, sebelum dipanggungkan, kami membiasakan untuk menulis menjadi cerpen, puisi, atau esai yang kami terbitkan dalam buletin Blakasuta. Sebuah buletin dengan modal minim yang rupanya sempat dinanti-nanti terbitnya oleh beberapa dosen di kampus Gunungpati, Semarang.

Ini kiranya yang disebut ruang temu gagasan. Ruang yang terus menyalakan alrm kesadaran, merawat orientasi hidup sambil merasai denyut kehidupan. Juga, mencipta arena bermain sendiri.

Mungkin tampak asing. Tetapi, yang patut digarisbawahi kemauan untuk menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Butuh keberanian memang. Butuh diuji berkali-kali. Setiap saat bila perlu. Sehingga, teater bukan sekadar ampiran.

Itu pula harapan saya kepada FiLTER. Forum ini mesti dirutinkan. Bahkan, diperluas jangkauannya. Siapa pun, entah jurnalis, penulis, pemusik, perupa, pebisnis, atau bila perlu para pemangku kebijakan dapat menyampaikan gagasan. Dengan begitu, akan muncul fakta-fakta menarik yang dapat dikaji secara mendalam. Menjadi penyumbang pula bagi wacana publik.

Ruang bagi wacana publik perlu juga disediakan. Di era media sosial, ruang bagi wacana publik sebenarnya sangat terbuka lebar. Hanya, media jenis ini agaknya belum sepenuhnya dapat diandalkan sebagai ruang wacana publik yang mengajak berpikir. Kecuali, untuk isu-isu tertentu—terutama yang cenderung memicu perdebatan tanpa akhir. Diakui atau tidak, media sosial pada gilirannya hanya menjadi ruang tengkar yang tak berkesudahan. Sementara, untuk berpikir, agaknya masih diperlukan upaya yang lebih serius.

Fakta ini apakah menciptakan ruang bagi wacana publik adalah kemustahilan? Saya kira tidak. Masih ada ruang-ruang lain yang bisa dimanfaatkan. Salah satunya menghidupkan ruang-ruang publik dengan menampilkan beragam aktivisme. Para pegiat teater bisa saja memanfaatkan ruang-ruang publik di daerah masing-masing. Tentunya, mesti dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif. Kafe, warung kopi, atau ruang-ruang lainnya masih memungkinkan bagi penciptaan ruang bagi wacana publik itu.

Yang tak kalah penting dari itu, adalah upaya membangkitkan kembali kegairahan daya kreasi. Bang Andi sempat mengajukan permasalahan menarik yang memantik diskusi lebih menghangat. Yaitu, mengenai ketersediaan naskah. Untuk membahas hal itu lebih lanjut, akan saya tulis pada bagian berikutnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini