Jelang tengah malam, suara radio lirih terdengar di ruang tengah. Nada-nada langgam Jawa berayunan. Naik-turun, melayang di udara. Merambat hingga ke telinga. Membuat kepala seorang kakek mengangguk-angguk. Matanya memejam. Mulutnya menggumam mengikuti irama langgam yang disuarakan pesinden gaek, Waldjinah.

Sang nenek sibuk di dapur. Merebus ketela dan menyeduh kopi sebagai pelengkap untuk menikmati puncak malam. Sambil menghidangkan ketela rebus dan secangkir kopi panas di atas meja, sang nenek membuka pembicaraan, “Tumben nggak telepon?”

“Lha kan masih muter lagu,” balas kakek.

Sang nenek tersenyum oleh pertanyaannya sendiri. Niatnya sekadar mengusili sang kakek. Tak benar-benar ingin bertanya.

Sang kakek memang seorang pendengar radio sejati. Siaran apapun akan ia dengarkan. Sampai-sampai hafal betul suara penyiarnya, juga jadwal siarannya. Malahan, ia tahu betul acara yang biasa dibawakan para penyiar.

“Nah, ini saatnya, Uti,” seloroh sang kakek begitu terdengar suara penyiar sedang bersiaran. “Tapi, sebentar. Kita dengarkan dulu apa yang mau dibahas supaya nggak salah kamar,” lanjut sang kakek sambil terkekeh.

Kados pawarta ingkang sampun kalumantaraken, bilih Wali Kota saha Wakil Wali Kota tuwin para pangarsa ing Kutha Pekalongan sampun paring dhawuh menawi Kutha Pekalongan taksih wonten kawigatosan, inggih menika babagan darurat sampah. Pramila, para warga dipun suwun sedya cancut taliwanda, sesarengan nyengkuyung mujudake lingkungan ingkang bersih,’ suara penyiar dari corong radio kompo.

Sang kakek menyimak. Nenek sibuk merapikan lipatan baju yang telah ia seterika. Lalu, dimasukkan almari.

“Tumben, temanya agak serius,” ucap kakek lirih.

Wis to, Kung, ndang telepon,” goda sang nenek.

“Lha ini!” balas kakek sambil menunjukkan telepon yang ada di genggamannya. “Halo,” sapa kakek.

Sugeng ndalu, Pak Wanda,” sambut penyiar radio itu dengan ramah. “Dos pundi pawartosipun, Pak? Mugi panjenengan sakaluwarga kawilujengan nggih, Pak.”

Pangestunipun, Mas Rawit. Nganu, Mas, menawa dipun keparengake kula badhe urun rembag babagan darurat sampah menika,” kata kakek.

Kasinggihan, Pak. Sakmenika babagan sampah taksih dados perkawis ingkang wigati. Mangga, punapa ingkang dipun dhawuhaken,” balas sang penyiar mempersilakan.

Mulailah sang kakek berkeluh kesah masalah darurat sampah yang melanda Kota Pekalongan beberapa hari terakhir. Semua berita yang ia baca, yang ia dengar, sampai apa-apa yang ia lihat diceritakan. Ia prihatin. Apalagi ketika menyaksikan tumpukan sampah yang berjejal di tepi-tepi jalan. Selain tak sedap dipandang, timbunan sampah itu juga teramat mengganggu.

Ia lantas terkenang pada cerita cucunya, siang tadi.

Pagi benar Gayatri menggendong tas punggung berwarna merah muda. Bersama kawan-kawan satu kampung, ia berjalan kaki menyusuri trotoar yang belum disesaki lapak-lapak pedagang kaki lima. Rumah mereka tak jauh dari sekolah. Hanya lima menit dengan jalan kaki.

Ringan kaki-kaki mungil mereka melangkah. Wajah mereka tampak segar. Makin segar mana kala lengkungan bibir mereka menyunggingkan senyum dan tawa.

Sesekali mereka berbagi cerita, tentang mimpi semalam atau tentang bagaimana mereka mengerjakan PR. Juga tentang hal-hal baru yang mereka dapatkan. Tak luput pula mereka obrolan seputar berita tentang darurat sampah yang mereka dengar dari orang tua mereka.

“Kata bapakku, Pak Wali Kota sedang pusing gara-gara sampah. Katanya, tempat pembuangannya ditutup. Terus, kita nggak punya tempat buat buang sampah,” kata Arum.

“Lha kalau nggak ada tempat buat buang sampah berarti kita boleh dong buang sampah sembarangan?” celatuk Bima.

Selintas, ucapan Bima menggiring semua pasang mata mengarah padanya. Bima terbengong. Gayatri tersenyum geli. Sementara tatapan Arum, Gading, Lingga, Ira, dan Entik seolah menjadi acungan jari pada Bima.

“Kenapa?” ucap Bima ringan.

“Tidak boleh begitu, Bima. Kita harus tetap buang sampah pada tempatnya,” kata Arum ketus.

“Kan kalau ada tempatnya? Sementara, sekarang tempatnya ditutup. Berarti kita nggak boleh buang sampah lagi di tempatnya. Terus, kemana kita buangnya?” kilah Bima.

“Ah sudah ah! Susah ngajak ngomong Bima. Dia suka bawel,” sergah Ira sambil melanjutkan perjalanan menuju sekolah.

Dalam satu langkah, tiba-tiba tatapan mata mereka menabrak sebuah pemandangan yang membuat mereka geleng-geleng. Sebentar langkah mereka terhenti. Lalu, saling bertukar pandang.

“Benar kan, kataku?” Bima kembali bercelatuk.

“Apanya yang benar?” tanya Lingga.

“Sekarang orang-orang pada buang sampahnya sembarangan. Karena nggak ada lagi tempatnya,” ujar Bima sembari menunjuk tumpukan sampah yang menggunung, menutupi jalan mereka. Trotoar penuh sampah. Meluber hingga bahu jalan, bahkan nyaris separuh ruas jalan dipenuhi sampah.

Jalanan ramai kendaraan berlalu lalang. Tak sedikit pun ada jeda. Mereka ragu melangkah. Sementara, suara bising jalan raya membuat orang-orang sibuk dan abai pada tujuh bocah berseragam putih merah itu. Tak ada yang peduli.

“Arum, aku takut,” gerutu Entik. Getaran suaranya menunjukkan rasa tegang yang tak bisa dijelaskan. Seluruh perasaan Entik telah dikuasai rasa cemas yang teramat. “Jalannya ramai,” lanjutnya. Tampak bola mata Entik bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri.

“Kenapa takut? Kita bisa kok jalan di pinggir,” balas Bima.

“Nanti kalau tertabrak gimana?” seloroh Entik.

“Tenang, kita kan jalan beramai-ramai,” kata Bima.

“Kamu yakin?” sergah Gading.

“Sudah, sudah. Gini aja. Kita jalan bareng sambil bergandengan. Tapi jangan berjejeran. Kita jalan beruntungan,” ucapan Gayatri sedikit membuat suasana beku di antara mereka leleh. “Bima, karena tubuhmu yang paling besar dan kamu punya nyali, kamu jalan paling depan. Disusul Lingga. Lalu, Gading, Ira, Entik, Arum, dan aku paling belakang. Gimana?”

Perlahan-lahan mereka mulai berjalan. Menyisir tepian tumpukan sampah. Langkah kaki mereka berjingkat-jingkat. Menghindari lendir yang mengalir dari tumpukan sampah. Mereka pikir, lendir itu mungkin saja berasal dari bangkai tikus yang dibuang bersama tumpukan sampah-sampah itu. Sebab, mereka mencium aroma bangkai.

Sementara, di antara rasa jijik itu, terselip pula cemas. Laju kendaraan di jalan tak memberi ruang jeda sama sekali. Membuat keringat dingin menguar di antara pori-pori kulit mereka.

Tatapan mata mereka terpusat pada tumpukan sampah itu. Mereka khawatir kalau-kalau sepatu mereka menginjak air lendir dari sampah. Tetapi, mereka juga tak bisa mengabaikan laju kendaraan yang sibuk pagi itu.

Tiba-tiba, sebuah bungkusan plastik menggelundung dari tumpukan sampah. Ira berjingkat sambil menjerit. Ia lepaskan pegangan tangan Entik dan Gading. Tubuhnya meloncat. Dan, brak!!

Sebuah sepeda motor menabraknya. Ira jatuh terguling. Enam temannya menjerit bersamaan. Mereka ketakutan. Tubuh mereka mendadak kaku. Tak bisa bergerak. Hanya berdiri di tepi. Ira pingsan.

Menyaksikan itu, napas Gayatri cengap-cengap. Setengah tak percaya, ia menyaksikan kejadian nahas itu. Ia menangis sejadinya. Begitu pula Entik, Arum, dan Lingga. Sementara, Gading melongo. Bima terdiam menunduk.

“Kasihan Ira,” bisik lirih sang nenek mengelus dada, saat sang kakek menutup teleponnya. “Tapi, kenapa Yang Kung ceritakan yang begituan sih? Diudarain lagi di radio,” tanya nenek kemudian.

“Aku tidak tega, Uti. Mereka itu masih kanak-kanak. Tak sepatutnya mereka yang menanggung akibatnya,” jelas kakek.

Sang nenek terdiam.

“Sekarang, aku mau tengok Gayatri di kamar. Katanya, sejak siang tadi ia demam tinggi,” kata kakek sambil beringsut menuju kamar cucunya.

Nenek mengikuti di belakang, “Semoga itu tidak membuat Gayatri jadi trauma seumur hidup, ya Kung.”

Kakek manggut-manggut. Mengamini.

Samar-samar suara radio di ruang tamu masih terdengar. Kata sang penyiar, ‘Carios ingkang dipun kawentaraken dening Pak Wanda kedhah dados pasinaon datheng kita sedaya. Bilih urusan sampah menika mboten namung babagan kesehatan lan kaendahan. Ugi, wonten gandeng cenenge kaliyan keslametan sedaya. Carios kala wau mugi-mugi dados penggalih kula lan panjenengan, para miarsa kang sutrisna.

Pekalongan, 17 April 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini