Oleh: Lalik Kongkar
Aku kembali lagi di sini, pada tempat di mana semua kenangan itu pernah berasal.
Juga ketika kehilangan itu berawal.
Ada lanskap kesunyian bertahta merajam langit, saat jejak kakiku ragu terpacak. Dan kesenyapan itu kembali mengiris-ngiris hati saat menyadari kita tak melaluinya lagi bersama, seperti dulu. Aku masih merasakan wangi kibasan rambutmu usai keramas menyapa hidungku begitu dekat.
Aku ingat, ketika itu, kau tersipu malu saat kukatakan dengan spontan dalam degup jantung menderu, dua helai rambutmu yang basah dan jatuh menimpa kening putihmu membuatmu bertambah cantik.
Aku sudah lama berdamai dengan kesendirian. Berlayar di samudera kesedihan serta merasakan angin buritan menampar wajahku yang sedapat mungkin mencari-cari dermaga dari balik kabut, tempat kau menungguku di sana dengan segunung cemas dan rindu membuncah.
Namun semuanya sia-sia. Seperti rasa putus asa yang menggayutiku sepanjang musim. Seperti kecewa yang luruh satu-satu bagai daun yang layu meranggas. Seperti sajak-sajak pilu yang kutulis dengan derai airmata lalu kukirim padamu bersama lampiran sepotong asa, lewat angin malam yang berdesir lembut dari jendela kamarku.
Aku memang sedikit tersesat, gamang, dan mengalami disorientasi lokasi ketika tiba lagi di sini. Menelisik kembali ruang-ruang rindu yang pernah kita lalui dulu, memang tak mudah, terlebih dengan hati patah.
***
Dan aku berusaha menghadirkan sosokmu kembali, saat kita pernah menikmati senja dibalut rintik gerimis serta selarik pelangi menghias digaris batas cakrawala. Aku mengenang, pandanganmu tak pernah sekalipun lepas dari pemandangan indah itu.
Dan kata-katamu seketika menyentakkanku dari segala impian indah tentangmu.
“Aku akan pergi. Meninggalkanmu. Untuk sebuah alasan yang mungkin tak akan bisa kamu mengerti,” katamu dengan bibir bergetar.
“Kenapa?” tanyaku penasaran. Kegelisahan menggayuti dadaku.
Kamu tak segera menjawab. Dengan gugup kamu memilin-milin ujung bajumu sembari menunduk seperti mencari-cari kata terbaik untuk mengungkapkan.
“Karena kamu telah melakukan sebuah kesalahan besar: Mencintaiku,” katamu akhirnya kemudian diikuti tangismu yang pecah tepat ketika matahari tergelincir mulus ditelan bumi dan menyisakan jejak-jejak merah saga.
Aku terkejut. Jawaban seperti apa ini?
“Apa maksudmu? Kenapa kamu tidak melakukan ini saja sejak pertama kali aku menyatakan cinta padamu. Setelah semua hal-hal mengesankan dan indah kita lalui bersama?” desakku gusar.
Kamu membisu dan menggigit bibirmu. Aku mendesah kesal.
“Tolong, jangan paksa aku menjawabnya sekarang. Bila waktunya tiba kamu akan tahu. Tapi bukan sekarang. Tolong antar aku pulang,” katamu sambil menatapku dengan mata penuh luka.
“Ini tidak adil, kamu jelaskan dulu apa sebabnya,” tegasku, masih penasaran.
“Tolong antar aku pulang atau, kalau kamu tak mau, biarkan aku pulang sendiri saja,” tantangmu sengit.
***
Aku menghela napas. Mengalah.
Dalam mobil yang kukendarai pulang bersamamu, kita saling diam. Tak ada kata-kata. Aku sempat menoleh sekilas ke arahmu dan kulihat bulir-bulir air mata mengalir deras melalui tebing pipimu.
Pandanganmu menatap lurus, hampa kedepan. Aku tak akan mengganggumu meski segudang tanya merajai benakku saat itu.
“Terima kasih atas segala kebersamaan yang indah yang pernah kita lalui. Maafkan bila harus berakhir begini. Semoga kita berdua baik-baik saja setelahnya. Selamat tinggal,” katamu lirih saat kuantar hingga ke gerbang rumah.
Matamu seperti tak kuasa menatap mataku. Tak lama kemudian kamu bergegas lari menuju rumah dan tak pernah berpaling lagi menolehku ke belakang .
Aku masih berdiri terpaku di gerbang depan rumahmu selama beberapa saat dan tak percaya, perpisahan ini terjadi begitu cepat. Dahsyat. Juga menyakitkan.