Ekalaya

Jauh dari negeri Hastina, desa Karang Kadempel, sebuah desa di tengah hutan, pemandangan aneh di langit cukup mengejutkan warga. Akan tetapi, tetap bersikap tenang sambil mempersiapkan beberapa peranti untuk upacara ruwatan. Itulah adat yang mereka wariskan dari leluhur. Mereka tetap menjaganya.

Bagi mereka, ruwatan hanya semacam upaya untuk mengunjukkan harapan, agar desa mereka terhindar dari malapetaka. Lain dari itu, ruwatan juga dijadikan semacam penanda, agar seluruh warga bersiap-siap atas kemungkinan terburuk.

Tampak sejumlah orang mengangkat lesung, mengeluarkannya dari lumbung. Beberapa tampak mengambil alu. Sementara lainnya, mempersiapkan cadangan bahan makanan yang tersedia di lumbung untuk kemudian dibawa saat mereka terpaksa mengungsi.

Beberapa orang juga terlihat sibuk membersihkan semak yang menutupi parit. Ukuran parit itu cukup besar. Sebab, parit itu mereka bangun sebagai jalur penyelamatan menuju gua di sisi bukit.

Sedang yang lain berkumpul di alun-alun Desa. Mengadakan upacara ruwatan. Alu dipukul-pukulkan pada lesung. Melahirkan pola ketukan yang teratur dan menciptakan nada yang rancak. Bebunyian lesung itu makin menemukan nuansa kegembiraan manakala ditimpa tembang mantra pengusir roh-roh jahat.

Ada pula yang membunyikan thethekan—kentongan kayu berukuran kecil. Tangkas bunyinya mengiringi lincahnya irama lesung. Juga memberi ornamen pada tembang mantra itu menjadi lebih punya daya magis.

Mendengar nyanyian itu, Bagong yang sibuk dengan kambing-kambing ternaknya terperanjat. Heran sekaligus bingung. Bertanya-tanya pada diri sendiri, apa yang sedang terjadi. “Lho, ada apa ini?” gumamnya diikuti langkah kakinya yang mulai menelusur asal riuh suara itu.

Dalam beberapa langkah, belum terlalu jauh dari kandang kambingnya, Bagong menjumpai dua kakaknya, Petruk dan Gareng tengah berdiri mematung. “Lho, kok kakang-kakangku jadi patung? Wah, apa gara-gara bunyi-bunyian itu ya?” kata Bagong. “Wah, bahaya ini! Bahaya! Mesti lapor ke Rama Semar ini,” lanjutnya.

Tanpa menghiraukan kedua kakaknya, Bagong melanjutkan langkah kakinya yang setengah berlari menuju rumah Ki Lurah Semar. Sementara, Petruk dan Gareng hanya bisa saling melirik. Mereka sedang mengamati apa yang mereka dengar. Mula-mula mereka tak sadar sedang saling berhadapan. Tetapi, begitu bola mata mereka saling bertatapan, mereka mendadak kaget.

“Lho! Truk?” ucap Gareng.

“Lho, Kang Gareng?!” tutur Petruk.

“Sampeyan ngapain di sini?” tanya Gareng.

“Lha, sampeyan juga ngapain di sini?” balas Petruk.

“Lha terus, itu kenapa si Bagong lari begitu lihat kita?” tanya Gareng.

“Lha sampeyan apa nggak dengar tadi kata Bagong?” Petruk balas bertanya.

“Mana aku dengar? Wong yang aku dengarkan bunyi-bunyian itu,” balas Gareng. “Lha, kamu?”

Petruk geleng-geleng.

Keduanya terdiam. Mematung sesaat. Lalu, bersama-sama mereka berkata, “Ah, pasti ke rumah Bapak!”

Lekas-lekas mereka menyusul. Berharap, Bagong tidak mendahului mereka tiba di rumah Ki Lurah Semar.

“Wah, cilaka kalau Bagong duluan, Truk. Dia bisa cerita yang aneh-aneh,” kata Gareng.

“Ho oh, Kang. Blaik!” balas Petruk.

“Tapi, kamu tahu kita mesti bilang apa pada Rama Semar?” tanya Gareng.

Petruk geleng kepala lagi.

“Walah, payah!”

“Lha sampeyan, Kang?” tanya Petruk.

Giliran Gareng geleng kepala.

“Lha kok sama? Payah!”

“Namanya juga sedang panik, Truk.”

“Ho oh, Kang. Panik.”

“Walah, Truk. Kita telat. Tuh, lihat. Bagong sudah ngadep Bapak,” celatuk Gareng setiba di depan rumah Ki Lurah Semar.

“Ho oh, Kang. Telat.”

“Terus kalau sudah telat?” tanya Gareng.

“Pasti kena setrap alias dihukum, Kang,” jawab Petruk.

“Aku serius nanya, Truk!” timpal Gareng mangkel.

“Nasi sudah jadi beras, eh bubur. Badan juga kepalang basah walau tak mandi. Ya wis kita ngadep Rama Semar, Kang,” jawab Petruk.

Kedua kakak-beradik itu bergegas mendekat. Tanpa mendengar pembicaraan Bagong, Gareng angkat bicara, “Yang dibilang Bagong itu tidak benar! Semua itu bohong, Ma!”

Petruk mengimbuh, “Ho oh, Ma. Rama kan tahu sendiri, Bagong itu suka bohong, Ma! Jangan percaya sama Bagong, Ma!”

“Kalau Rama pingin kabar yang bisa dipercaya, ya dengarkan kami, Ma!” seloroh Gareng.

“Ho oh, Ma!”

“Jadi, kami itu bermaksud nyusul Bagong di kandang wedus. Tapi, begitu lihat kami, Bagong malah lari, Ma! Kayaknya dia sedang ada masalah, Ma,” keluh Gareng.

Melihat polah kedua kakaknya, Bagong malah melongo. Berusaha mencerna ucapan mereka. Tetapi, tak juga dapat ia cerna kata-kata kedua kakaknya.

“Kalian itu ngomong apa to, Reng? Truk? Bagong itu baru saja sampai. Belum ngomong apa-apa kok kalian malah cerita yang nggak jelas,” ucap Semar.

Mendadak muka Petruk dan Gareng memerah. Malu. Mereka terdiam. Hanya saling pandang.

“Gong, kamu mau bilang apa sebenarnya, Le?” tanya Semar.

“Nganu, Ma. Apa kampung kita ini sedang gawat darurat, Ma? Kok ujug-ujug ada tetabuhan gitu?” tanya Bagong.

Semar terkekeh. Lalu, sambil menunjuk langit ia berucap, “Itu to?”

Bagong mendongak. Petruk dan Gareng pun mengikuti, alih-alih menutup rasa malu. Mereka terkejut, begitu menyadari apa yang mereka lihat di langit.

“Lho, apa itu, Ma?” tanya Gareng.

“Kok serem banget, Ma? Apa itu, Ma?!” Petruk ikut bertanya.

“Oh itu to, Ma yang bikin orang-orang pada nutuk lesung?” gilirian Bagong bertanya.

Semar terkekeh lagi. Kepalanya manggut-manggut.

“Bahaya nggak, Ma?” tanya Bagong.

“Kalau kamu dilempar ke langit ya bahaya,” jawab Semar. “Tubuhmu bisa berputar-putar dan bisa hancur berkeping-keping, Gong.”

Bagong bergidik mendengar penjelasan Semar.

“Tapi, sebentar lagi juga bakal reda,” kata Semar menenangkan.

“Kok Rama tahu?” tanya Petruk.

“Bapakmu ini juga pernah melakukan hal serupa. Bahkan, lebih dari itu, Le,” kata Semar.

“Maksud Rama?” tanya Gareng.

“Sudah, jangan banyak tanya. Sebentar lagi pasti ada utusan yang datang kemari. Kalian siap-siap saja menerima kedatangan utusan itu,” balas Semar.

“Utusan?” gumam Petruk.

“Kalau dia sudah tiba, kalian boleh nanya apa saja tentang kejadian itu,” kata Semar.

“Siapa, Ma?” tanya Bagong.

“Sudah-sudah, nggak usah banyak tanya. Nanti beliau juga datang. Sekarang, persiapkan diri kalian,” balas Semar.

“Lha, itu Ma?” tanya Bagong sambil menunjuk ke arah sumber suara tetabuhan warga.

“Biarkan saja. Jangan dibubarkan. Nanti juga tahu,” pungkas Semar.

(Bersambung)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini