Butuh waktu tiga bulan—tepatnya, 13 minggu—bagi saya untuk membacakan buku The Psychology of Money karya Morgan Housel yang saya siarkan di Radio Kota Batik, Kota Pekalongan, tiap Senin malam. Mula-mula sekadar mengisi kekosongan jam siaran yang belum terprogram secara khusus. Selama dua jam saya membacakan halaman per halaman bagian awal buku itu. Tanpa terasa, di ujung acara saya dapat menyelesaikan dua bab plus pengantar.

Selama membaca baris per baris kalimat yang berjejer dan tertata rapi dari satu halaman ke halaman berikutnya, saya merasa banyak mendapat hal baru. Otak saya seperti disiram ungkapan-ungkapan segar yang segera membangkitkan gairah untuk terus membacakan buku itu kepada pendengar setia saya di Radio Kota Batik. Tak hanya itu, Morgan Housel—sang mualif buku ini—juga menggunakan beberapa cerita faktual yang penuh kejutan di beberapa bagian.

Cara Housel bercerita, membuat konsep gagasan buku terbitan tahun 2020 ini lebih mudah dipahami dan dimengerti. Cerita-cerita itu menjadi pemandu bagi pembaca untuk menangkap alur gagasan yang diurai. Menariknya lagi, di beberapa bagian, Housel memberi penegasan atas gagasan itu dengan kalimat-kalimat yang mengajak pembaca berpikir ulang tentang kebenaran yang kadung terkonstruksi di dalam otak tiap-tiap pembaca. Walau begitu, Housel kerap menggarisbawahi, apa yang menjadi simpulannya hanya berlaku pada dirinya. Artinya, ia menempatkan pengalaman pribadinya sebagai objek utama. Ia juga tidak sedang menawarkan cara berpikirnya kepada pembaca agar dapat disepakati. Hanya mengungkapkan pikirannya dan ia alami.

Salah satu kutipan yang saya suka, “Mengelola uang dengan baik tidak ada hubungannya dengan kecerdasan Anda dan lebih banyak berhubungan dengan perilaku Anda. Dan perilaku sukar diajarkan, bahkan kepada orang-orang yang sangat cerdas”. Uraian kalimat itu Housel tempatkan untuk memberi penegasan atas dua kisah yang ia munculkan pada bagian pengantar bukunya. Kisah Ronald Read dan Richard Fuscone.

Ronald Read adalah seorang montir di sebuah pom bensin sekaligus tukang sapu. Di pom bensin, ia menekuni pekerjaannya selama 25 tahun. Sementara sebagai tukang sapu di JC Penney, ia menekuninya sampai 17 tahun. Tentu, kehidupannya biasa-biasa saja. Tapi, siapa sangka kalau dia masuk dalam daftar 4000 orang Amerika yang memiliki harta di atas $8 juta AS saat meninggal pada tahun 2014. Di tahun itu, jumlah orang Amerika yang meninggal sebanyak 2.813.503 jiwa.

Mengapa bisa begitu? Satu-satunya jawaban adalah karena Read memelihara hidup sederhana dan berhemat dalam menggunakan uangnya. Ia selalu menabungkan sebagian uangnya. Menariknya lagi, ketika ia meninggal dalam usia 92 tahun, ia memberikan wasiat kepada keluarganya. Bahwa, harta yang ia wariskan kepada anak-anak tirinya sebanyak $2 juta. Sedang, $6 juta sisanya diberikan kepada rumah sakit dan perpustakaan.

Berbeda dengan kisah Richard Fuscone, lulusan Harvard bergelar MBA, eksekutif Merril Lynch. Sebagai seorang akademisi, Fuscone boleh dibilang ahli di bidang bisnis. Sebagai seorang pebisnis, ia juga pernah dipuja-puja majalah bisnis Crain’s sebagai pebisnis sukses!

Kesuksesan itu ditunjukkan dengan harta miliknya, berupa rumah berkamar mandi 11 buah, dua lift, dua kolam renang, tujuh garasi, dengan biaya pemerliharaan bulanan di atas $90.000. Tetapi, ketika krisis keuangan melanda pada 2008, ekonomi ahli bisnis itu amburadul. Ia bangkrut dan terpaksa harus berhadapan dengan pengadilan yang berujung pada penyitaan seluruh aset miliknya. Semua gara-gara utang Fuscone demi mengejar kemewahan.

Ingat, Read orang biasa. Pendidikannya tak setingggi Fuscone. Tetapi, di akhir episode kehidupan, Read justru mampu memberi makna pada kehidupan. Fuscone? Lain cerita. Ia seorang yang terdidik tetapi tamak. Fuscone menggilai sesuatu yang semestinya telah ia sadari sejak ia bersekolah dulu sebagai yang perlu diwaspadai. Sesuatu yang mestinya lebih bisa ia kendalikan.

Dua kisah itu disodorkan Housel sebagai pintu masuk untuk membaca buku The Psychology of Money yang benar-benar memikat perhatian saya. Sampai-sampai, di ujung jam siaran, saya putuskan untuk terus melanjutkan pembacaan buku itu sampai khatam. Setiap Senin malam saya bacakan buku itu dari bab ke bab berikutnya. Didengarkan para pendengar setia Radio Kota Batik dengan beragam tanggapan. Bahkan, sempat pula mendapatkan pesan suara dari salah seorang tokoh Kiai muda Pekalongan, Kiai Abdul Kholid Ma’rufi. Tanggapan beliau membuat saya makin percaya diri untuk semakin menguatkan bahwa siaran ini perlu diajukan sebagai program. Walhasil, jadilah nama program baru di Radio Kota Batik, yaitu Serbuk (Senin Berbuku).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini