God Bless
Personel band rock legendaris Indonesia, God Bless.

Di saat ini ingin kuterlena lagi
Terbang tinggi di awan
Tinggalkan bumi di sini
……………

Sepenggal lirik lagu Syair Kehidupan yang dipopulerkan band rock legendaris God Bless itu membuat saya terkenang pada sosok almarhum Paklek saya, Slamet Toro. Dari beliau saya mengenal musik. Setiap ada waktu senggang, kami berduet untuk nyanyi. Beliau main gitar, saya yang menyanyi. Kala itu, saya masih kanak-kanak. Sekitar usia anak kelas 3 SD.

Lagu-lagu God Bless dan sebagian lagi lagu-lagu dari negeri jiran, Malaysia, kerap kami bawakan. Lain dari itu, lagu-lagu Ebit G. Ade.

Kadang, aksi kami mendadak bisa gila. Paklek saya menyiapkan beberapa perkakas dapur seperti panci lengkap dengan tutupnya, kaleng roti, dan sebagainya ditata sedemikian rupa. Kemudian beliau meminta saya memainkan alat-alat itu laiknya seorang penabuh drum.

Sambil memukul-mukul drum bikinan Paklek, saya pun diminta nyanyi. Sampai-sampai, Emak saya terpingkal-pingkal melihat ulah gila kami berdua.

Gara-gara aksi gila itu pula akhirnya saya jadi kepincut sama musik. Lalu, pernah beliaupun menjanjikan akan mengajari saya bermain gitar. Tetapi sayang, sebelum saya sempat belajar gitar dari beliau, beliau telah berpulang ke rahmatullah dalam usianya yang sangat muda.

Sedih? Sudah tentu. Sebab, bagi saya, beliau adalah sosok inspiratif. Bagaimana tidak, sepeninggalan beliau, saya akhirnya harus belajar gitar sendiri. Tanpa guru. Hanya bermodal semangat karena kenangan indah bersama beliau. Setiap kali saya mulai belajar memainkan gitar, saya merasa beliau ikut hadir dan menyaksikannya.

Sungguh, beliaulah yang selama hayatnya banyak mengajarkan pada saya tentang hidup. Baik lewat kisah-kisahnya, maupun lewat dongeng-dongeng jenakanya yang biasa beliau ceritakan pada saya menjelang tidur. Beliau adalah pendongeng yang baik.

Sampai pada suatu ketika, waktu itu saya masih kuliah di Semarang, saya sempat menuliskan dongeng yang pernah beliau ceritakan pada saya. Saya sadur menjadi sebuah cerpen. Kemudian dari cerpen itu oleh kawan-kawan Komunitas Godhong sempat pula diproduksi jadi film pendek. Judulnya “Haji Jaya”.

Ya, beliau adalah sosok idola saya. Beliaulah yang waktu itu menyemangati saya agar bisa jadi bintang kelas. Pada suatu ketika, tepatnya saat saya kelas 3 SD, saya mendapatkan ranking 3. Mendengar kabar itu beliau langsung malamnya mengajak saya pergi nonton di bioskop Rahayu. Kebetulan film yang diputar waktu itu adalah Saur Sepuh. Sebuah film yang diambil dari drama radio dengan judul yang sama. Wah, alangkah senangnya saya waktu itu bisa menyaksikan film yang sebelumnya saya gandrungi sandiwaranya.

Begitupun di waktu yang lain. Saat film Tutur Tinular diputar di bioskop, beliau pula yang megajak saya menonton film itu. Ketika itu saya baru dapat juara kelas.

Di sisi lain, ada hal lain yang juga turut menginspirasi saya, terutama dalam hal kumpul-kumpul. Waktu itu, beliau termasuk pemuda yang senang dengan kegiatan pemuda. Tidak dalam artian yang formal. Paling tidak, dengan kemampuannya memainkan gitar, beliau bisa membuat pemuda kampung berkegiatan positif. Sampai-sampai pada puncaknya sempat bikin kelompok musik dangdut yang ala kadarnya. Mereka bahkan sampai bisa ngamen ke mana-mana.

Uang dari hasil ngamennya itu mereka gunakan sebagian untuk bikin acara tujuh belasan di kampung. Sisa lainnya, dibagi dan biasanya digunakan untuk keperluan mereka masing-masing. Ada juga sisa uang yang digunakan untuk membeli alat. Ah, memang, waktu itu tak serumit sekarang. Bagi beliau dan grup musik dangdutan kampung, yang dipentingkan adalah bagaimana cara mereka bisa main dan ngamen. Mereka tak punya perhitungan soal soundsystem dan lain-lain.

Dunia mereka bukan di atas panggung, melainkan dunia dari kampung ke kampung. Menghibur tanpa harus direpotkan ini-itu. Tetapi, di dalam kesederhanaan mereka, apapun bisa mereka lakukan dan menghibur.

Ya, saya jadi terkenang lagi dengan sepenggal lirik lagu God Bless lainnya yang kerap saya nyanyikan di waktu-waktu senggang dengan beliau.

Seribu rambutmu yang hitam terurai
Seribu cemara seolah mendera
Seribu duka nestapa di wajah nan ayu
Seribu luka yang nyeri di dalam dadaku

Di sana kutemukan bukit yang terbuka
Seribu cemara halus mendesah
Sebatang sungai membelah huma yang cerah
Berdua kita bersama tinggal di dalamnya
…………………………..

Dan malam ketika saya menyaksikan video konser God Bless melalui YouTube, saya terkenang beliau di saat terakhir. Beliau pergi dengan seulas senyum. Duka menyelimuti kampung. Ketika itu, jalanan menjadi padat ramai. Orang-orang, terutama para pemuda kampung, mengiring kepergian beliau, mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhir beliau.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini